Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

The Detente

          



Pertikaian antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak bisa terelakkan seiring berakhirnya Perang Dunia ke-2. Dua negara pemenang perang ini masing-masing memiliki ideologi yang saling bertentangan. Ketegangan tersebut dikenal dengan istilah Perang dingin atau Cold War yang sejatinya berlangsung di tiga objek, Proxy War, Arms Race dan Space War (Stars War). Banyak negara yang terlibat gara-gara seteru dua adidaya ini, salah satunya konflik misil Kuba. Ketegangan yang terjadi di Kuba antara pihak komunis Fidel Castro dan oposisi yang disokong Amerika hampir menimbulkan perang besar. Pasalnya Uni Soviet mengembangkan proyek nuklir –berdaya bunuh satu milyar orang dalam hitungan waktu empat menit—nya di Kuba. Namun akhirnya krisis nuklir ini bisa diselesaikan secara damai melalui perundingan kedua belah pihak di PBB.
Kedua negara bertikai akhirnya menyadari bahwa hubungan antara keduanya sudah sangat panas, dan mereka harus mengurangi ketegangan yang ada sebelum akhirnya menyebabkan perang terbuka atau bahkan bisa menjadi awal mula Perang Dunia ke-3. Sehingga sejak 1970-an hubungan antar negara dunia mulai membaik dan ketegangan dalam perang dingin mulai berkurang. Pengurangan ketegangan terhadap pihak yang bertikai ini disebut Détente.
Pada tanggal 17 November 1969 terjadi perundingan Amerika dan Uni Soviet yang berlangung di Helsinki, Finlandia, perundingan tersebut membahas pembatasan persenjataan strategis melalui SALT I (Strategic Arms Limitation Talks). Hasil perundigan SALT I ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Ricard Nixon dan Leonid Bruzhnev dari Uni Soviet. Kemudian perundingan SALT II berlangsung pada bulan November 1972 di Jenewa, Swiss, ditandatangani oleh pemimpin Amerika Serikat Jimmy Carter dan Leonid Bruzhnev.
Perundingan terkait pembatasan senjata tahap selanjutnya adalah Arms Reduction Treaty (START) pada tahun 1982 yang berisi kesepakatan untuk memusnahkan senjata nuklir yang berdaya menengah. Negara-negara lain yang juga mengembangkan nuklir mengikuti kesepakatan negara adidaya dalam upaya menghindari bahaya perang. Negara-negara tersebut juga khawatir kawasannya akan menjadi sasaran perang nuklir.
Selain tiga perjanjian SALT I, SALT II dan START, banyak upaya lainnya yang dilakukan dua adidaya menuju ke arah damai. Diantaranya masing-masing negara blok secara individu (bilateral) saling mengunjungi untuk melakukan pendekatan. Seperti pada tahun 1972 Ricard Nixon mengunjungi RRC untuk menjalin hubungan diplomatik, isu Berlin dapat diselesaikan dalam meja perundingan tahun 1973, juga di penghujung Perang Dingin Presiden Soeharto yang ketika itu berada di pihak anti komunis, pada 1989 mengunjungi Uni Soviet. Negara-negara lainnya yang baru merdeka pasca Perang Dunia II mendirikan organisasi nonblok yang mengarah kepada sikap netral.
Tahun 1987 Presiden Ronald Reagen meningkatkan kemampuan persenjataan balistiknya yang mempengaruhi sikap Mikhail Gorbachev untuk melakukan persetujuan pembatasasan nuklir balistik. Dampak dari perjanjian ini antara lain Uni Soviet mengurangi kekuatan angkatan perangnya di Eropa Timur dan mulai memusatkan pembenahan ekonomi serta kehidupan politik dalam negeri yang lebih demokrasi.
Ekonomi Uni Soviet mengalami kemerosotan yang serius. Disebabakan permasalahan ekonomi, ideoloi komunis akhirnya mulai mengalami kebangkrutan di berbagai belahan dunia. Masalah-masalah dalam negeri Uni Soviet juga turut membuat keadaanya semakin parah. Ketidakpuasan kelas menengah dan kelompok elit pemerintahan , tekanan kelompok etnis non Rusia, banyak terjadi korupsi di kalanga birokrasi dan partai pemerintahan, dana anggaran belanja mengalami deficit karena biaya pendudukan pasukan Uni Soviet di beberapa negara Eropa Timur, ketertinggalan teknologi dan peralatan industri sehingga kapasitas produksi makanan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya menurun, meyebabkan Uni Soviet tidak bisa lagi mengagungkan ideologi komunisnya. Sampai 1980, 11% GNP Uni Soviet dibelanjakan untuk kepentingan militer. Uni Soviet mengalokasikan dana secara besar-besaran bagi negara yang berada di bawah kekuasaannya agar negara tersebut tidak lepas dari kendalinya. Tahun 1980 harga minyak jatuh sehingga keadaan ekonomi Uni Soviet yang tidak stabil benar-benar mati. Padahal Uni Soviet sangat bergantung dengan ekspor minyaknya, sementara sejak 1980 minyak tidak mampu membiayai Perang Dingin.
Dalam kondisi yang buruk Mikhail Gorbachev (11 Maret 1985) harus memimpin Uni Soviet serata memperbaiki perekonomiannya. Langkah yang ditempuh Gorbachev adalah dengan melakukan reformasi yang dikenal dengan sebutan Perestroika dan Glanost. Reformasi inilah yang benar-benar mengakhiri Perang Dingin, karena memang sudah semakin jelas pihak mana yang menang dan pihak manayang kalah. Secara natural perang dalam bentuk apapun akan segera berakhir setelah salah satu pihak kalah.
Perestroika merupakan restrukturisasi  (penataan kembali struktur) yang sudah rusak. Tujuannya mengatasi stagnasi untuk akselerasi (penyamaan) kemajuan sosial dan ekonomi, pengembangan menyeluruh dari demokrasi yang diprakarsai massa. Inti dari perestroika adalah langkah pembaharuan untuk mempersatukan sosialisme dengan demokrasi melalui keterbukaan politik atau Glanost.

Dua kebijakan ini memberikan dampak yang tidak terduga sebelumnya, yaitu terjadi pertentangan sosial di dalam masyarakat. Hingga pada 19 Agustus 1991, kelompok konserpatif melancarkan kudeta terhadap Mikhail Gorbachev walau upaya ini dapat digagalkan oleh Boris Yeltsin (pemimpin kelompok radikal) sehingga Gorbachev dapat diselamatkan dan nama Yeltsin pun melambung di pentas politik Uni Soviet. Yeltsin tidak mampu membendung gelora semangat Perestroika dan Glanost terbukti dengan banyaknya negara bagian Uni Soviet yang melepaskan diri dan menjadi negara merdeka dan akhirnya Uni Soviet runtuh. Runtuhnya Uni Soviet di Eropa Timur mengakhiri Perang Dingin.   

Komentar

Posting Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

Konflik Poso