Pertikaian
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak bisa terelakkan seiring berakhirnya
Perang Dunia ke-2. Dua negara pemenang perang ini masing-masing memiliki
ideologi yang saling bertentangan. Ketegangan tersebut dikenal dengan istilah Perang
dingin atau Cold War yang sejatinya berlangsung di tiga objek, Proxy War,
Arms Race dan Space War (Stars War). Banyak negara yang
terlibat gara-gara seteru dua adidaya ini, salah satunya konflik misil Kuba.
Ketegangan yang terjadi di Kuba antara pihak komunis Fidel Castro dan oposisi
yang disokong Amerika hampir menimbulkan perang besar. Pasalnya Uni Soviet
mengembangkan proyek nuklir –berdaya bunuh satu milyar orang dalam hitungan
waktu empat menit—nya di Kuba. Namun akhirnya krisis nuklir ini bisa
diselesaikan secara damai melalui perundingan kedua belah pihak di PBB.
Kedua negara bertikai akhirnya menyadari bahwa hubungan antara
keduanya sudah sangat panas, dan mereka harus mengurangi ketegangan yang ada
sebelum akhirnya menyebabkan perang terbuka atau bahkan bisa menjadi awal mula
Perang Dunia ke-3. Sehingga sejak 1970-an hubungan antar negara dunia mulai
membaik dan ketegangan dalam perang dingin mulai berkurang. Pengurangan
ketegangan terhadap pihak yang bertikai ini disebut Détente.
Pada tanggal 17 November 1969 terjadi
perundingan Amerika dan Uni Soviet yang berlangung di Helsinki, Finlandia,
perundingan tersebut membahas pembatasan persenjataan strategis melalui SALT I (Strategic
Arms Limitation Talks). Hasil perundigan SALT I ditandatangani oleh Presiden
Amerika Serikat Ricard Nixon dan Leonid Bruzhnev dari Uni Soviet. Kemudian
perundingan SALT II berlangsung pada bulan November 1972 di Jenewa, Swiss,
ditandatangani oleh pemimpin Amerika Serikat Jimmy Carter dan Leonid Bruzhnev.
Perundingan terkait pembatasan
senjata tahap selanjutnya adalah Arms Reduction Treaty (START) pada tahun 1982
yang berisi kesepakatan untuk memusnahkan senjata nuklir yang berdaya menengah.
Negara-negara lain yang juga mengembangkan nuklir mengikuti kesepakatan negara
adidaya dalam upaya menghindari bahaya perang. Negara-negara tersebut juga
khawatir kawasannya akan menjadi sasaran perang nuklir.
Selain tiga perjanjian SALT I, SALT
II dan START, banyak upaya lainnya yang dilakukan dua adidaya menuju ke arah
damai. Diantaranya masing-masing negara blok secara individu (bilateral) saling
mengunjungi untuk melakukan pendekatan. Seperti pada tahun 1972 Ricard Nixon
mengunjungi RRC untuk menjalin hubungan diplomatik, isu Berlin dapat
diselesaikan dalam meja perundingan tahun 1973, juga di penghujung Perang
Dingin Presiden Soeharto yang ketika itu berada di pihak anti komunis, pada
1989 mengunjungi Uni Soviet. Negara-negara lainnya yang baru merdeka pasca
Perang Dunia II mendirikan organisasi nonblok yang mengarah kepada sikap
netral.
Tahun 1987 Presiden Ronald Reagen
meningkatkan kemampuan persenjataan balistiknya yang mempengaruhi sikap Mikhail
Gorbachev untuk melakukan persetujuan pembatasasan nuklir balistik. Dampak dari
perjanjian ini antara lain Uni Soviet mengurangi kekuatan angkatan perangnya di
Eropa Timur dan mulai memusatkan pembenahan ekonomi serta kehidupan politik
dalam negeri yang lebih demokrasi.
Ekonomi Uni Soviet mengalami
kemerosotan yang serius. Disebabakan permasalahan ekonomi, ideoloi komunis
akhirnya mulai mengalami kebangkrutan di berbagai belahan dunia.
Masalah-masalah dalam negeri Uni Soviet juga turut membuat keadaanya semakin parah.
Ketidakpuasan kelas menengah dan kelompok elit pemerintahan , tekanan kelompok
etnis non Rusia, banyak terjadi korupsi di kalanga birokrasi dan partai
pemerintahan, dana anggaran belanja mengalami deficit karena biaya pendudukan
pasukan Uni Soviet di beberapa negara Eropa Timur, ketertinggalan teknologi dan
peralatan industri sehingga kapasitas produksi makanan untuk mencukupi
kebutuhan rakyatnya menurun, meyebabkan Uni Soviet tidak bisa lagi mengagungkan
ideologi komunisnya. Sampai 1980, 11% GNP Uni Soviet dibelanjakan untuk
kepentingan militer. Uni Soviet mengalokasikan dana secara besar-besaran bagi
negara yang berada di bawah kekuasaannya agar negara tersebut tidak lepas dari
kendalinya. Tahun 1980 harga minyak jatuh sehingga keadaan ekonomi Uni Soviet
yang tidak stabil benar-benar mati. Padahal Uni Soviet sangat bergantung dengan
ekspor minyaknya, sementara sejak 1980 minyak tidak mampu membiayai Perang
Dingin.
Dalam kondisi yang buruk Mikhail
Gorbachev (11 Maret 1985) harus memimpin Uni Soviet serata memperbaiki
perekonomiannya. Langkah yang ditempuh Gorbachev adalah dengan melakukan
reformasi yang dikenal dengan sebutan Perestroika dan Glanost. Reformasi inilah
yang benar-benar mengakhiri Perang Dingin, karena memang sudah semakin jelas
pihak mana yang menang dan pihak manayang kalah. Secara natural perang dalam
bentuk apapun akan segera berakhir setelah salah satu pihak kalah.
Perestroika merupakan
restrukturisasi (penataan kembali
struktur) yang sudah rusak. Tujuannya mengatasi stagnasi untuk akselerasi
(penyamaan) kemajuan sosial dan ekonomi, pengembangan menyeluruh dari demokrasi
yang diprakarsai massa. Inti dari perestroika adalah langkah pembaharuan untuk
mempersatukan sosialisme dengan demokrasi melalui keterbukaan politik atau
Glanost.
Dua kebijakan ini memberikan dampak
yang tidak terduga sebelumnya, yaitu terjadi pertentangan sosial di dalam
masyarakat. Hingga pada 19 Agustus 1991, kelompok konserpatif melancarkan
kudeta terhadap Mikhail Gorbachev walau upaya ini dapat digagalkan oleh Boris
Yeltsin (pemimpin kelompok radikal) sehingga Gorbachev dapat diselamatkan dan
nama Yeltsin pun melambung di pentas politik Uni Soviet. Yeltsin tidak mampu
membendung gelora semangat Perestroika dan Glanost terbukti dengan banyaknya
negara bagian Uni Soviet yang melepaskan diri dan menjadi negara merdeka dan
akhirnya Uni Soviet runtuh. Runtuhnya Uni Soviet di Eropa Timur mengakhiri
Perang Dingin.
terimakasih, tulisan anda sangat membantu
BalasHapus