Newest

Transnational Advocacy Network


Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional.

Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakupan domestik dan transnasional. Di dalam kedua ranah tersebut sama-sama ada sebuah jaringan yang mengaping sistem politik. Jaringan yang semakin menguat disebabkan karena adanya pola hubungan yang baru antara masyarakat sipiln negara dan organisasi internasional. Bentuk jaringan advokasi yang modern diantaranya seperti gerakan anti perbudakan, kampanye untuk hak suara wanita, hak asasi dan lingkungan.

Selanjutnya perkembangan dunia mendorong kesamaan trend politik dan sosial. Dalam kaitannya dengan jaringan advokasi, kini sebuah peristiwa yang terjadi di suatu negara dengan mudah bisa menjadi isu internasional. Hal ini dikarenakan cara pandang dan kepedulian yang sama yang terjalin di antara aktor. Kesamaan ini akhirnya memiliki potensi menjadi jaringan yang tidak hanya advokasi melainkan aksi.

Aktor-aktor utama dari Transnational Advocacy Network (TAN) ini diantaranya adalah organisasi riset dan advokasi internasional non pemerintah (INGO’s), gerakan sosial lokal, yayasan, media, kelompok agama, organisasi pemerintah dan parlemen. Tetapi dari keseluruhan aktor di atas tidak semuanya memiliki peran yang kuat. Aktor yang paling kuat di antara semua itu adalah organisasi non pemerintah atau NGO’s. INGO’s terbukti mampu menghasilkan gagasan dan lobi yang bisa merubah kebijakan.

Jika ditelusuri jaringan advokasi bukan sebuah bahasan baru. Melainkan jaringan serupa sudah populer sejak abad ke-19 seperti kampanye anti perbudakan yang terjadi di Eropa. Tahap perkembangan dari INGO’s adalah berkomitmen dalam bidang sosial. Jaringan internasional jika diperhitungkan secara anggaran untuk terus bisa menjalankan kegiatannya memang cukup mahal. Dan hal inilah yang menjadi salah satu pertanyaan besar hingga saat ini. Bagaimana bisa INGO’s bisa terus eksis dan bahkan berkembang biak. Ada beberapa isu yang biasanya INGO’s bergerak di sana. Pertama mereka hadir di situasi dimana pemerintah tidak efektif dalam menyelesaikan konflik, kedua dalam tahap aktivis menyuarakan dan mempromosikan kampenyenya, lalu ketiga pada acara konferensi-konfereni internasional yang hasilnya diyakini akan memberikan pengaruh besar.

Aktor paling dominan dalam TAN adalah INGO’s. Aktor ini sebagai representatif bagaimana TAN turut mengubah pola hubungan internasional. Banyak INGO’s yang sukses merealisasikan idenya ke dalam sebuah gerakan hingga akhirnya membuahkan hasil. Salah satu yang INGO’s yang sampai saat ini pengaruhnya cukup besar ialah Green Peace Internasional. INGO’s dengan jaringan internasional yang kuat dan bergerak dalam bidang lingkungan. Ide besar Green Peace sudah banyak merubah kebijakan negara-negara di dunia yang berdampak pada kerusakan lingkungan.

Seperti halnya INGO’s lain, Green Peace menggunakan cara kampanye dengan sangat memanfaatkan jaringan internet dan komunikasi (Ozdemir, 2012). Dalam aspek ini sebanding lurus dengan ide globalisasi dimana perkembangan teknologi dan komunikasi memberikan dampak yang besar bagi umat manusia dan jalannya sistem pemerintahan. Dengan memahami bagaimana Green Peace terbentuk dan berkiprah dalam sebuah ide pencegahan kerusakan lingkungan, kita dapat memahami bahwa di dunia modern seperti saat ini sangat memungkinkan bagi siapapun untuk mewujudkan ide dan pemikirannya. Karena organisasi Green Peace pun sebelum menjadi organisasi raksasa seperti sekarang, adalah hanya ide seseorang yang muncul sebagai respon terhadap perubahan dunia khususnya lingkungan (Mate, 2002). Kekuatan atau pengaruh aktor negara begitu jelas terlihat mengalami penurunan. Sementara aktor non-negara dengan berbagai jenis dan perkembangannya semakin dewasa dan mampu menguasai situasi (dukungan masyarakat).

Seperti apa yang dijelaskan Margaret dan Kathryn bahwasannya tujuh aktor utama dalam TAN lebih bergerak dengan strategi agenda setting dan kampanye ide, maka apakah kelompok seperti Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) yang dikenal dengan kelompok teroris juga termasuk kedalam aktor utama TAN. Karena sebagaimana kita tahu bahwa gaya gerak organisasi terror sangat berbeda dengan INGO’s. Green Peace sama sekali tidak menggunakan cara kekerasan untuk mewujudkan cita-citanya. Sementara ISIS menggunakan perang dan kegiatan fisik lainnya untuk meraih maksudnya. Perbedaan ini sebetulnya masih ada dalam bingkai TAN. Artinya dua organisasi transnasional tersebut sama-sama memiliki konsep bersatu di bawah sebuah ideologi dengan menempuh usaha-usaha yang mereka sepakati. Keduanya hanya memiliki perbedaan dalam hal penggunaan kekerasan atau tidak.

Selanjutnya mengenai kajian atau studi organisasi INGO’s ini secara umum diyakini occidental centric dimana pertama karena memang gagasan yang lahir dari Eropa, kedua juga karena bahasannya banyak bermula dari pembahasan tentang keadaan di Eropa. Salah satu buku yang berjudul A Short History of International Organization karangan Gerard Mangone sangat dijelaskan oleh Madeleine Herren dan kawan-kawan (2014), menempatkan Eropa sebagai pusat dari pemahaman organisasi internasional. Sementara dunia ketiga atau negera-negara berkembang tidak terlalu mendapat perhatian. Atau kerangka pemikiran yang disusun dari pengamatan Eropa dipaksa untuk memahami fenomena di negara berkembang yang kebanyakan bukan bagian dari Eropa atau Barat. Maka Madeleine dan kawan-kawan menegaskan secara akademik telah terjadi sebuah kesalahan atas hal ini. Salah satu contoh adalah bagaimana organisasi ASEAN menegaskan istilah ASEAN Way sebagai cara mereka sendiri dalam memahami permasalahan.

TAN ini memang tidak hanya sebatas dipahami sebagai gerakan aktor non-negara, melainkan menurut penulis juga merupakan sebuah jaringan dimana satu negara bisa dipengaruhi oleh jaringan organisasi internasional. TAN juga sangat sesuai dengan ideologi globalisasi yakni demokrasi dimana seluruh pihak satu sama lain saling memiliki celah control atas yang lainnya. Adapun organisasi-organisasi baru dengan bentuk yang berbeda tetap masuk ke dalam salah satu kategori tujuh aktor utama TAN.

REFERENSI
Herren, Madeleine. (2014). Global Histories of International Organizations. Switzerland: Springer International Publishing.
Keck, Margaret E dan Sikkink, Kathryn. (1998). Activist Beyond Borders. USA : Cornell University Press.
Ă–zdemir, B. Pinar. (2012). “Social Media as a Tool for Online Advocacy Campaigns: Greenpeace Mediterranean’s Anti Genetically Engineered Food Campaign in Turkey”, Global Media Journal, Vol 5 Issue 2, pp. 23-29.

Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente

Konflik Poso