Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

Konflik Poso


Poso adalah sebuah kabupaten di Daerah Otonom Sulawesi Tengah, Daerah Otonom yang sudah terbentuk sejak 2 Desember 1948 yang merupakan tindak lanjut dari hasil Muktamar Raja-Raja se-Sulawesi Tengah 13-14 Oktober 1948. Selanjutnya dengan melalui beberapa tahapan, melalui DPR Sulawesi Tengah, pembagian Daerah Otonom Sulteng terdiri dari Onder Afdeeling Poso dan Onder Afdeeling Donggala. Kabupaten Poso dengan ibukotnya Poso, berbatasan dengan sebelah Utara; Teluk Tomini dan Kabupaten Parigi Moutong,sebelah Selatan; Sulawesi Selatan, sebelah Barat; Kabupaten Donggala, sebelah Timur; Tono Una-Una dan Morowali.Penduduk Poso terdiri dari suku asli yakni orang-orang Toraja dan juga pendantang seperti dari Jawa, Batak dan Bugis. Poso didominasi oleh orang Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah agama Kristen.
Keberagaman ini lah yang nantinya menjadi salah satu penyebab terjadi pelbagai rusuh di Poso. Agama menjadi pemantik utama konflik Poso. Setidaknya jika diklasifikasikan, ada tiga periode kerusuhan besar antara Islam dan Kristen: Kerusuhan Poso I (25-29 Desember 1998), Poso II (17-21 April 2000), Poso III (161 Mei-15 Juni 2000). Hingga akhirnya pada 20 September 2001 Keputusan Malino sebagai perjanjian damai ditandatangani kedua belah pihak dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla. Namun Penyebab konflik Poso lebih kompleks daripada itu. Ada persoalan terkini dan juga ada yang bersifat historis. Yang dalam hal ini  sejak era kolonial Belanda, Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih kepada kepentingan politik. Terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial Belanda ini akhirnya membangun dua image utama dalam politik Poso, Islam dan Kristen. Konflik agama yang berlangsung kurang lebih tiga tahun berpuncak di masa Presiden Gusdur. Kasus yang bermula Desember 1998, mencapai puncaknya Mei 2000. Setidaknya 3.000 orang Islam tewas dalam pertikaian SARA ini. Menilik kesepakatan damai Malino, tertuang 10 butir kesepakatan, intinya menghentikan konflik dan menegakkan hukum. Tanpa pandang bulu, kedua kelompok diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Sama sekali tidak ada upaya mendudukkan persoalan secara proporsional, mencari akar masalah dan menyelesaikan konflik. Di sini kita perlu mengkaji ulang Kasus Poso. Karena terjadinya pemutar balikkan posisi, siapa pelaku dan siapa korban. Salah satu tragedi kelam Bangsa Indonesia ini juga telah menodai HAM, dimana dari satu pihak menjadi kelompok terbantai. 





Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente