Poso adalah sebuah kabupaten di Daerah Otonom Sulawesi Tengah, Daerah
Otonom yang sudah terbentuk sejak 2 Desember 1948 yang merupakan tindak lanjut
dari hasil Muktamar Raja-Raja se-Sulawesi Tengah 13-14 Oktober 1948.
Selanjutnya dengan melalui beberapa tahapan, melalui DPR Sulawesi Tengah,
pembagian Daerah Otonom Sulteng terdiri dari Onder Afdeeling Poso dan Onder
Afdeeling Donggala. Kabupaten Poso dengan ibukotnya Poso, berbatasan dengan
sebelah Utara; Teluk Tomini dan Kabupaten Parigi Moutong,sebelah Selatan;
Sulawesi Selatan, sebelah Barat; Kabupaten Donggala, sebelah Timur; Tono
Una-Una dan Morowali.Penduduk Poso terdiri dari suku asli yakni orang-orang
Toraja dan juga pendantang seperti dari Jawa, Batak dan Bugis. Poso didominasi
oleh orang Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo
Una Una, maka yang mendominasi adalah agama Kristen.
Keberagaman ini lah yang nantinya menjadi salah satu penyebab terjadi
pelbagai rusuh di Poso. Agama menjadi pemantik utama konflik Poso. Setidaknya
jika diklasifikasikan, ada tiga periode kerusuhan besar antara Islam dan
Kristen: Kerusuhan Poso I (25-29 Desember 1998), Poso II (17-21 April 2000),
Poso III (161 Mei-15 Juni 2000). Hingga akhirnya pada 20 September 2001
Keputusan Malino sebagai perjanjian damai ditandatangani kedua belah
pihak dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla. Namun Penyebab konflik Poso lebih
kompleks daripada itu. Ada persoalan terkini dan juga ada yang bersifat
historis. Yang dalam hal ini sejak era
kolonial Belanda, Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam dukungan
finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial bukan dilandaskan pada semangat
keagamaan, tetapi lebih kepada kepentingan politik. Terutama karena aksi
pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial Belanda ini akhirnya membangun dua image
utama dalam politik Poso, Islam dan Kristen. Konflik agama yang berlangsung
kurang lebih tiga tahun berpuncak di masa Presiden Gusdur. Kasus yang bermula
Desember 1998, mencapai puncaknya Mei 2000. Setidaknya 3.000 orang Islam tewas
dalam pertikaian SARA ini. Menilik kesepakatan damai Malino, tertuang 10 butir
kesepakatan, intinya menghentikan konflik dan menegakkan hukum. Tanpa pandang
bulu, kedua kelompok diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Sama sekali tidak
ada upaya mendudukkan persoalan secara proporsional, mencari akar masalah dan
menyelesaikan konflik. Di sini kita perlu mengkaji ulang Kasus Poso. Karena
terjadinya pemutar balikkan posisi, siapa pelaku dan siapa korban. Salah satu
tragedi kelam Bangsa Indonesia ini juga telah menodai HAM, dimana dari satu
pihak menjadi kelompok terbantai.
Komentar
Posting Komentar