Dengan
mengetahui aliran-aliran pemikiran, paradigma, atau perspektif yang berkembang
dalam sub-disiplin Ekonomi Politik Internasional (EPI) akan bisa menentukan
metodologi penelitian, model analisis yang tepat. Para ahli dalam
mengindentifikasi aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam EPI berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Satu diantaranya yang akan dijadikan rujukan
dalam tulisan ini adalah Balam dan Vesth (2001) yang membagi menjadi tiga
aliran, yaitu Merkantilisme, Strukturalisme, dan Liberal.
1. Merkantilisme/Nasionalisme
Tulisan kaum merkantilis pertama
terjadi pada abad ke-16, ketika elemen-elemen dunia kapitalis muncul. Semua
pemikir merkantilis memusatkan perhatian pada dominasi kepentingan nasional (national
interest) dalam kebijakan ekonomi. Selain itu mereka juga terfokus pada
peran negara dalam mengarahkan aktivitas ekonomi. Hakikat ekonomi adalah untuk
mengejar kekayaan, tetapi dalam pemikiran merkantilis kekayaan bukan untuk
kepentingan per-seorangan (individual interest) tetapi semuanya
ditujukan untuk kepentingan kekuatan negara (national power). Merkantilisme
mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan
melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong ekspor dan
mengurangi impor. Tetapi tujuan akhir dari merkantilisme sebenarnya sama, yaitu
kompetisi terbuka dan pasar bebas dalam sebuah ekonomi global.
2.
Strukturalisme/Marxisme
Ide yang bersumber dari pemikiran
Marx dan Engels ini masih bertahan hidup hingga sekarang ini. Meski banyak yang
menyebutnya sudah mati. Perjuangan kelas, eksploitasi, imperialism, dan
sebagainya masih menjadi jargon-jargon gerakan buruh bahkan politisi. Marx
memprediksi bahwa konflik kelas di era modern akan menyebabkan terjadinya
revolusi sosialis, yang akan melahirkan masyarakat ekonomi sosialis. Dengan
begitu maka negara tidak memainkan peran dalam politik, tetapi
merepresentasikan kelas-kelas dominan dalam masyarakat (negara). Di bawah
kapitalis pemerintah dari negara negara modern bagaikan sebuah komite yang
mengelola urusan bersama kaum borjuis. Mereka meyakini bahwa kekuatan pendorong
di bawah EPI adalah sturktur ekononomi nasional maupun internasional. Sturktur
ekonomi sangat mempengaruhi distribusi kekayaan dan kekuatan.
3.
Liberalisme
Liberalisme berkembang seiring
dinamika hubungan pasar-negara (pasar dan negara). Penganut liberalisme
menginginkan hilangnya peran negara terhadap pasar sehingga hanyalah pasar yang
bergelut dalam sistem perekonomian. Liberalism adalah aliran yang paling takut
akan “tangan besi” atau campur tangan pemerintah. Pada esensinya aliran ini
adalah pemikiran yang menghendaki kebebasan, hak-hak individu (individual
rights), dan pasar bebas (free markets). Kaum liberal menolak
pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor sentral yang harus menjadi
fokus utama ketika menghadapi masalah ekonomi. Menurut liberal, aktor sentral
adalah individu, baik konsumen ataupun produsen. Individu bersifat rasional,
dan ketika memahami rasionalitas itu di pasar, maka semua partisipan dalam
pasar akan beruntung. Beda halnya dengan negara yang selalu terikat politik
kepentingan.
Penerapan Liberalisme dapat kita
temukan di Amerika Serikat (pencetus). Seperti yang dikatakan Wilson dan
Rosevelt bahwa ekonomi yang baik adalah penekanan terhadap kerjasama dan
kolaborasi timbale balik dan usaha individu, bukan dengan membuat ancaman dan
pemaksaan. Amerika serikat betul-betul menyebarluaskan pemikiran liberalnya ke
seluruh negara-negara di dunia (Perang Dingin) dengan iming-iming kemajuan.
Tetapi memang hal itu terbukti. Banyak negara seperti di Eropa Barat yang
menerapkan sistem liberal meraih kemajuan yang begitu pesat. Terobosan dari
salah satu negara adidaya ini mampu memperbaiki ekonomi dunia pasca perang. Dan
hal itu yang membuat dunia internasional dengan tangan terbuka menerima dan
menerapkan ekonomi liberal. Terlepas dari plus-minus ekonomi liberal ini,
negara-negara yang menerapkannya dengan pengelolannya yang baik saat ini meraih
kesuksesannya. Meski tidak bisa terlepas dari bayang-bayang krisis ekonomi.
Indonesia sebagi negara yang menerapkan ekonomi liberal dengan membuka pintu
lebar-lebar bagi pengusaha dan pekerja asing (2016) harus siap-siap menerima
apapun resiko.
Dengan
mengetahui aliran-aliran pemikiran, paradigma, atau perspektif yang berkembang
dalam sub-disiplin Ekonomi Politik Internasional (EPI) akan bisa menentukan
metodologi penelitian, model analisis yang tepat. Para ahli dalam
mengindentifikasi aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam EPI berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Satu diantaranya yang akan dijadikan rujukan
dalam tulisan ini adalah Balam dan Vesth (2001) yang membagi menjadi tiga
aliran, yaitu Merkantilisme, Strukturalisme, dan Liberal.
1. Merkantilisme/Nasionalisme
Tulisan kaum merkantilis pertama
terjadi pada abad ke-16, ketika elemen-elemen dunia kapitalis muncul. Semua
pemikir merkantilis memusatkan perhatian pada dominasi kepentingan nasional (national
interest) dalam kebijakan ekonomi. Selain itu mereka juga terfokus pada
peran negara dalam mengarahkan aktivitas ekonomi. Hakikat ekonomi adalah untuk
mengejar kekayaan, tetapi dalam pemikiran merkantilis kekayaan bukan untuk
kepentingan per-seorangan (individual interest) tetapi semuanya
ditujukan untuk kepentingan kekuatan negara (national power). Merkantilisme
mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan
melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong ekspor dan
mengurangi impor. Tetapi tujuan akhir dari merkantilisme sebenarnya sama, yaitu
kompetisi terbuka dan pasar bebas dalam sebuah ekonomi global.
2.
Strukturalisme/Marxisme
Ide yang bersumber dari pemikiran
Marx dan Engels ini masih bertahan hidup hingga sekarang ini. Meski banyak yang
menyebutnya sudah mati. Perjuangan kelas, eksploitasi, imperialism, dan
sebagainya masih menjadi jargon-jargon gerakan buruh bahkan politisi. Marx
memprediksi bahwa konflik kelas di era modern akan menyebabkan terjadinya
revolusi sosialis, yang akan melahirkan masyarakat ekonomi sosialis. Dengan
begitu maka negara tidak memainkan peran dalam politik, tetapi
merepresentasikan kelas-kelas dominan dalam masyarakat (negara). Di bawah
kapitalis pemerintah dari negara negara modern bagaikan sebuah komite yang
mengelola urusan bersama kaum borjuis. Mereka meyakini bahwa kekuatan pendorong
di bawah EPI adalah sturktur ekononomi nasional maupun internasional. Sturktur
ekonomi sangat mempengaruhi distribusi kekayaan dan kekuatan.
3.
Liberalisme
Liberalisme berkembang seiring
dinamika hubungan pasar-negara (pasar dan negara). Penganut liberalisme
menginginkan hilangnya peran negara terhadap pasar sehingga hanyalah pasar yang
bergelut dalam sistem perekonomian. Liberalism adalah aliran yang paling takut
akan “tangan besi” atau campur tangan pemerintah. Pada esensinya aliran ini
adalah pemikiran yang menghendaki kebebasan, hak-hak individu (individual
rights), dan pasar bebas (free markets). Kaum liberal menolak
pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor sentral yang harus menjadi
fokus utama ketika menghadapi masalah ekonomi. Menurut liberal, aktor sentral
adalah individu, baik konsumen ataupun produsen. Individu bersifat rasional,
dan ketika memahami rasionalitas itu di pasar, maka semua partisipan dalam
pasar akan beruntung. Beda halnya dengan negara yang selalu terikat politik
kepentingan.
Penerapan Liberalisme dapat kita
temukan di Amerika Serikat (pencetus). Seperti yang dikatakan Wilson dan
Rosevelt bahwa ekonomi yang baik adalah penekanan terhadap kerjasama dan
kolaborasi timbale balik dan usaha individu, bukan dengan membuat ancaman dan
pemaksaan. Amerika serikat betul-betul menyebarluaskan pemikiran liberalnya ke
seluruh negara-negara di dunia (Perang Dingin) dengan iming-iming kemajuan.
Tetapi memang hal itu terbukti. Banyak negara seperti di Eropa Barat yang
menerapkan sistem liberal meraih kemajuan yang begitu pesat. Terobosan dari
salah satu negara adidaya ini mampu memperbaiki ekonomi dunia pasca perang. Dan
hal itu yang membuat dunia internasional dengan tangan terbuka menerima dan
menerapkan ekonomi liberal. Terlepas dari plus-minus ekonomi liberal ini,
negara-negara yang menerapkannya dengan pengelolannya yang baik saat ini meraih
kesuksesannya. Meski tidak bisa terlepas dari bayang-bayang krisis ekonomi.
Indonesia sebagi negara yang menerapkan ekonomi liberal dengan membuka pintu
lebar-lebar bagi pengusaha dan pekerja asing (2016) harus siap-siap menerima
apapun resiko.
Komentar
Posting Komentar