Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

Aliran-aliran pemikiran (school of thought) Ekonomi Politik Internasional



















Dengan mengetahui aliran-aliran pemikiran, paradigma, atau perspektif yang berkembang dalam sub-disiplin Ekonomi Politik Internasional (EPI) akan bisa menentukan metodologi penelitian, model analisis yang tepat. Para ahli dalam mengindentifikasi aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam EPI berbeda antara satu dengan yang lainnya. Satu diantaranya yang akan dijadikan rujukan dalam tulisan ini adalah Balam dan Vesth (2001) yang membagi menjadi tiga aliran, yaitu Merkantilisme, Strukturalisme, dan Liberal.

1.      Merkantilisme/Nasionalisme
Tulisan kaum merkantilis pertama terjadi pada abad ke-16, ketika elemen-elemen dunia kapitalis muncul. Semua pemikir merkantilis memusatkan perhatian pada dominasi kepentingan nasional (national interest) dalam kebijakan ekonomi. Selain itu mereka juga terfokus pada peran negara dalam mengarahkan aktivitas ekonomi. Hakikat ekonomi adalah untuk mengejar kekayaan, tetapi dalam pemikiran merkantilis kekayaan bukan untuk kepentingan per-seorangan (individual interest) tetapi semuanya ditujukan untuk kepentingan kekuatan negara (national power). Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor. Tetapi tujuan akhir dari merkantilisme sebenarnya sama, yaitu kompetisi terbuka dan pasar bebas dalam sebuah ekonomi global.

2.      Strukturalisme/Marxisme
Ide yang bersumber dari pemikiran Marx dan Engels ini masih bertahan hidup hingga sekarang ini. Meski banyak yang menyebutnya sudah mati. Perjuangan kelas, eksploitasi, imperialism, dan sebagainya masih menjadi jargon-jargon gerakan buruh bahkan politisi. Marx memprediksi bahwa konflik kelas di era modern akan menyebabkan terjadinya revolusi sosialis, yang akan melahirkan masyarakat ekonomi sosialis. Dengan begitu maka negara tidak memainkan peran dalam politik, tetapi merepresentasikan kelas-kelas dominan dalam masyarakat (negara). Di bawah kapitalis pemerintah dari negara negara modern bagaikan sebuah komite yang mengelola urusan bersama kaum borjuis. Mereka meyakini bahwa kekuatan pendorong di bawah EPI adalah sturktur ekononomi nasional maupun internasional. Sturktur ekonomi sangat mempengaruhi distribusi kekayaan dan kekuatan.
3.      Liberalisme
Liberalisme berkembang seiring dinamika hubungan pasar-negara (pasar dan negara). Penganut liberalisme menginginkan hilangnya peran negara terhadap pasar sehingga hanyalah pasar yang bergelut dalam sistem perekonomian. Liberalism adalah aliran yang paling takut akan “tangan besi” atau campur tangan pemerintah. Pada esensinya aliran ini adalah pemikiran yang menghendaki kebebasan, hak-hak individu (individual rights), dan pasar bebas (free markets). Kaum liberal menolak pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor sentral yang harus menjadi fokus utama ketika menghadapi masalah ekonomi. Menurut liberal, aktor sentral adalah individu, baik konsumen ataupun produsen. Individu bersifat rasional, dan ketika memahami rasionalitas itu di pasar, maka semua partisipan dalam pasar akan beruntung. Beda halnya dengan negara yang selalu terikat politik kepentingan.
Penerapan Liberalisme dapat kita temukan di Amerika Serikat (pencetus). Seperti yang dikatakan Wilson dan Rosevelt bahwa ekonomi yang baik adalah penekanan terhadap kerjasama dan kolaborasi timbale balik dan usaha individu, bukan dengan membuat ancaman dan pemaksaan. Amerika serikat betul-betul menyebarluaskan pemikiran liberalnya ke seluruh negara-negara di dunia (Perang Dingin) dengan iming-iming kemajuan. Tetapi memang hal itu terbukti. Banyak negara seperti di Eropa Barat yang menerapkan sistem liberal meraih kemajuan yang begitu pesat. Terobosan dari salah satu negara adidaya ini mampu memperbaiki ekonomi dunia pasca perang. Dan hal itu yang membuat dunia internasional dengan tangan terbuka menerima dan menerapkan ekonomi liberal. Terlepas dari plus-minus ekonomi liberal ini, negara-negara yang menerapkannya dengan pengelolannya yang baik saat ini meraih kesuksesannya. Meski tidak bisa terlepas dari bayang-bayang krisis ekonomi. Indonesia sebagi negara yang menerapkan ekonomi liberal dengan membuka pintu lebar-lebar bagi pengusaha dan pekerja asing (2016) harus siap-siap menerima apapun resiko. 
Dengan mengetahui aliran-aliran pemikiran, paradigma, atau perspektif yang berkembang dalam sub-disiplin Ekonomi Politik Internasional (EPI) akan bisa menentukan metodologi penelitian, model analisis yang tepat. Para ahli dalam mengindentifikasi aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam EPI berbeda antara satu dengan yang lainnya. Satu diantaranya yang akan dijadikan rujukan dalam tulisan ini adalah Balam dan Vesth (2001) yang membagi menjadi tiga aliran, yaitu Merkantilisme, Strukturalisme, dan Liberal.

1.      Merkantilisme/Nasionalisme
Tulisan kaum merkantilis pertama terjadi pada abad ke-16, ketika elemen-elemen dunia kapitalis muncul. Semua pemikir merkantilis memusatkan perhatian pada dominasi kepentingan nasional (national interest) dalam kebijakan ekonomi. Selain itu mereka juga terfokus pada peran negara dalam mengarahkan aktivitas ekonomi. Hakikat ekonomi adalah untuk mengejar kekayaan, tetapi dalam pemikiran merkantilis kekayaan bukan untuk kepentingan per-seorangan (individual interest) tetapi semuanya ditujukan untuk kepentingan kekuatan negara (national power). Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor. Tetapi tujuan akhir dari merkantilisme sebenarnya sama, yaitu kompetisi terbuka dan pasar bebas dalam sebuah ekonomi global.

2.      Strukturalisme/Marxisme
Ide yang bersumber dari pemikiran Marx dan Engels ini masih bertahan hidup hingga sekarang ini. Meski banyak yang menyebutnya sudah mati. Perjuangan kelas, eksploitasi, imperialism, dan sebagainya masih menjadi jargon-jargon gerakan buruh bahkan politisi. Marx memprediksi bahwa konflik kelas di era modern akan menyebabkan terjadinya revolusi sosialis, yang akan melahirkan masyarakat ekonomi sosialis. Dengan begitu maka negara tidak memainkan peran dalam politik, tetapi merepresentasikan kelas-kelas dominan dalam masyarakat (negara). Di bawah kapitalis pemerintah dari negara negara modern bagaikan sebuah komite yang mengelola urusan bersama kaum borjuis. Mereka meyakini bahwa kekuatan pendorong di bawah EPI adalah sturktur ekononomi nasional maupun internasional. Sturktur ekonomi sangat mempengaruhi distribusi kekayaan dan kekuatan.
3.      Liberalisme
Liberalisme berkembang seiring dinamika hubungan pasar-negara (pasar dan negara). Penganut liberalisme menginginkan hilangnya peran negara terhadap pasar sehingga hanyalah pasar yang bergelut dalam sistem perekonomian. Liberalism adalah aliran yang paling takut akan “tangan besi” atau campur tangan pemerintah. Pada esensinya aliran ini adalah pemikiran yang menghendaki kebebasan, hak-hak individu (individual rights), dan pasar bebas (free markets). Kaum liberal menolak pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor sentral yang harus menjadi fokus utama ketika menghadapi masalah ekonomi. Menurut liberal, aktor sentral adalah individu, baik konsumen ataupun produsen. Individu bersifat rasional, dan ketika memahami rasionalitas itu di pasar, maka semua partisipan dalam pasar akan beruntung. Beda halnya dengan negara yang selalu terikat politik kepentingan.

Penerapan Liberalisme dapat kita temukan di Amerika Serikat (pencetus). Seperti yang dikatakan Wilson dan Rosevelt bahwa ekonomi yang baik adalah penekanan terhadap kerjasama dan kolaborasi timbale balik dan usaha individu, bukan dengan membuat ancaman dan pemaksaan. Amerika serikat betul-betul menyebarluaskan pemikiran liberalnya ke seluruh negara-negara di dunia (Perang Dingin) dengan iming-iming kemajuan. Tetapi memang hal itu terbukti. Banyak negara seperti di Eropa Barat yang menerapkan sistem liberal meraih kemajuan yang begitu pesat. Terobosan dari salah satu negara adidaya ini mampu memperbaiki ekonomi dunia pasca perang. Dan hal itu yang membuat dunia internasional dengan tangan terbuka menerima dan menerapkan ekonomi liberal. Terlepas dari plus-minus ekonomi liberal ini, negara-negara yang menerapkannya dengan pengelolannya yang baik saat ini meraih kesuksesannya. Meski tidak bisa terlepas dari bayang-bayang krisis ekonomi. Indonesia sebagi negara yang menerapkan ekonomi liberal dengan membuka pintu lebar-lebar bagi pengusaha dan pekerja asing (2016) harus siap-siap menerima apapun resiko. 

Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente

Konflik Poso