Syeikh Muhammad Abduh adalah salah satu ulama yang melakukan
modernisasi pemikiran politik. Modernisasi berarti atau identik dengan
rasionalisasi yakni proses perombakan pola berpikir dan tata kerja yang tidak
rasional (aqliyah) serta menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja yang
baru. Ia mengkritisi taklid dalam ajaran agama islam dengan menghadirkan
gagasan bahwa pintu ijtihad belum ditutup. Reformasi akal, akidah dan akhlak
adalah misi yang dibawa Abduh. Pemikiran Abduh ini banyak dipengaruhi oleh
gurunya Jamaluddin Al-Afgani, yang menghendaki pembaharuan masyarakat Islam.
Namun caranya untuk mencapai tujuan memiliki perbedaan. Jamaluddin menghendaki
jalan revolusi, sedangkan Muhammad Abduh memandang revolusi dalam lapangan
politik tidak akan ada artinya sebelum ada perubahan mental secara
berangsur-angsur. Abduh menghapus dikotomi pendidikan ilmu Agama dan ilmu Umum
di Mesir.
Pandangan politik Abduh dilatarbelakangi kehadiran Barat di dunia
Islam, khususnya Mesir, dan situasi dunia Islam yang berkembang ketika itu,
mengalami penjajahan dan kolonialisme oleh negara-negara Barat. Abduh sangat
menyesalkan sikap penguasa muslim dan ulama yang member kesempatan kepada bangsa Barat untuk menguasasi mereka.
Kepada pemimpin Muslim yang pro barat tersebut Abduh memandang mereka sebagai
antek-antek imperialis Barat yang berkonpirasi menindas rakyat. Pemimpin inilah
kata Abduh yang menjadi penyebab kehancuran akhlak di dalam masyarakat. Menurut
Abduh kondisi seperti ini dikarenakan umat Islam yang sudah terasuki
paham-paham dari luar Islam. Umat Islam sudah dijangkit oleh paham jumud
(beku,stasis) sehingga tidak mau berpikir dinamis mencapai kemajuan.
Konstribusi
pemikiran politik Muhammad Abduh:
a.
Ajakan
Membebaskan Tanah Air
Abduh menegaskan bahwa kaum Muslim agar membebaskan diri dari
kolonialisme asing yang menguasai.
b.
Perlunya
Pengembangan Ijtihad
Umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya dan
membersihkan segala macam bentuk bid’ah dan khurafat. Umat Islam harus berani
membuka ijtihad untuk menjawab berbagai persoalan. Islam harus melakukan
interpretasi ulang terhadap pendapat ulama masa lalu yang mungkin tidak lagi
sejalan dengan masa yang sekarang.
c.
Sistem
Pemerintahan
Pemerintahan yang otoriter yang tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan harus
beralih ke pemerintahan yang konstitusional. Untuk itu perlunya lembaga
perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Dalam hal ini Abduh tidak menyalahkan
apabila meniru Barat sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Abduh
menyetujui majelis parlemen dalm penyaluran aspirasi rakyat apabila bermanfaat
bagi umum. Dalam satu majelis beberapa orang perwakilan rakyat untuk menyampaikan
aspirasi rakyat. Bersama Jamaluddin Al-Afghani , Abduh menyeru pentingnya
mendirikan Asosiasi Islam (Jami’ah
Islamiyyah). Asosiasi ini diharapkan bisa menyatukan kembali negara-negara
Islam setelah bebas dari kekuasaan khalifah
yang memiliki kekuasaan agama dan kekuasaan politik secara sekaligus.
Khalifah yang berkuasa harus mengadopsi sistem pemerintahan modern sebagaimana
yang diterapkan Barat.
d.
Sistem
Hukum
Abduh menolak umat Islam yang mencoba mencari sistem hukum yang
tidak sejalan dengan tradisi dan budaya masyarakatnya. Seperti jika umat Islam
menerapkan liberalism. Karena kalau diterpkan maka mereka akan kehilangan
identitasnya sebagai masyarakat yang religius.
e.
Pembatasan
Kekuasaan
Selain mendorong pembatasan kekuasaan kepala negara, ia juga
menolak adanya kekuasaan keagamaan. Baginya, Islam tidak memberikan kekuasaan
kepada seseorang atau suatu kelomok orang untuk menindak orang lain atas dasar
mandat agama atau dari Tuhan.
f.
Sistem
Demokrasi
Abduh menerima ide Barat tentang demokrasi yang menyatakan
bahwasannya kekuasaan itu adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan
amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Rakyat dapat menggulingkan penguasa
apabila bertindak despotic dan tidak adil serta kesejahteraan rakyat menuntut
hal ini. Demokrasi di sini adalah musyawarah yang menjamin kebebasan individu
dalam berbicara, berpikir dan bekerja.
g.
Hubungan
Agama dan Politik
Abduh menganggap bahwa partai itu didasarkan atas kesadaran bahwa
semua orang dalam suatu negara adalah saudara satu sama lain dan hak-hak mereka
dalam politik dan hukum sama, tidak dibeda-bedakan keyakinan. Maka dari itu
partai yang dibentuk Abduh adalah partai nasional bukan partai Islam.
h.
Sistem
Ekonomi
Muhammad Abduh tidak setuju dengan sistem kapitalis, tetapi lebih
condong kepada kekayaan bagi mayoritas rakyat. Cara ini dipandang sebagai
orientasi sosialisme.
Referensi:
Mufti,
Muslim. 2015. Politik Islam Sejarah dan Pemikiran. Bandung: CV Pustaka
Mulia. Hlm, 133-143.
Komentar
Posting Komentar