|
|
Secara historis, pemberlakuan syariat sebagai sistem hukum di
Indonesia sudah mempunyai landasan sejarah yang kuat, yaitu sejak Islam masuk
ke Indonesia. Tetapi sesudah penjajah Eropa masuk dan menguasai wilayah-wilayah
Indonesia, maka alur sejarah itu mereka potong dan hukum syariat mereka hapus.
Sebagai penggantinya, mereka paksakan hukum Eropa yang sangat bertentangan
dengan akidah Islam. Bahkan bukti-bukti historis tentang pelaksanaan syariat
pun mereka lenyapkan. Namun pasca reformasi, isu pelaksanaan syariat Islam
semakin merebak di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini seiring semangat
otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu
penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip NKRI, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Didahului oleh
Aceh yang secara gencar menuntut perwujudan syariat Islam di daerahnya, yang kemudian
disetujui oleh pemerintah pusat.
Fenomena ini bukan tidak menimbulkan pro dan kontra, bahkan dalam
masyarakat Islam sendiri. Kelompok yang pro mengatakan, sudah sewajarnya
syariat Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara, karena
umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia. Mereka menyerukan umat Islam
untuk kembali pada Alquran dan al-Sunah, agar berbagai problema sosial politik
yang sekarang melanda bangsa Indonesia dapat diatasi. Tidak semua masyarakat
Islam sepakat dengan kelompok pro, akan tetapi ada kelompok kontra yang
tentunya bukan tidak setuju dengan syariat Islam, tetapi hanya menolak
pemahaman keagamaan kelompok pertama. Menurut mereka, apa yang dipahami
kelompok pertama sebagai syariat Islam tak lain adalah fikih yang dikembangkan
ulama Islam awal. Problemanya, dengan beragamnya sudut pandang fikih yang
terdapat di negeri ini. Pendapat kelompok manakah yang akan dijadikan rujukan.
Bukankan pemaksaan pandangan satu versi syariat Islam saja, justru bertentangan
dengan semangat Islam sendiri. Lagi pula, bukankah selama ini syariat Islam
sudah terinternalisasi dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Menurut
kelompok kontra, ada atau tidaknya aturan bernuansa syariat Islam, masyarakat
pun sudah hidup dengan tuntunan syariat.
Syariat Islam merupakan bagian dari Problematika Umat Islam di
Indonesia, tetapi beberapa daerah di Indonesia seperti Desa Padang Kecamatan
Gantarang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan mampu memberikan bukti
konkrit bahwa penerapan Peraturan deaerah memberikan dampak positif terhadap
aspek-aspek tertentu secara signifikan.
Penerapan Syaria’t Islam adalah suatu upaya untuk menjadikan
Syariah Islam sebagai Konstitusi dan undang-undang negara. Konstitusi Syariah
adalah upaya untuk menjadikan Syariah Islam sebagai Undang-undang negara,
sedangkan undang–undang negara adalah seluruh aturan yang lahir dari konstitusi
negara. Konstitusi syari’at hanya memuat pokok-pokok terpenting dari Syaria’t
Islam yang bisa menggambarkan Syariah Islam secara utuh dan menyeluruh,
meskipun dengan redaksi yang sangat global dan ringkas disitulah sebenarnya
manhaj penerapan Syariah Islam dalam berbagai bidang dipaparkan. Sedang yang
dimaksud dengan syariat Islam ialah apa yang telah disyariatkan Allah kepada
hamba-Nya, kaum muslimin tentang hukum.
Bagi seorang muslim menegakkan Syari’at Islam dalam kehidupan
sehari-hari adalah sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang
diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Allah
berfirman dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain),
tentang urusan mereka...”(Q.S. Al-ahzab/33:36).
Penerapan Syari’at Islam sudah berlangsung di beberapa kerajaan
Nusantara baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Setelah sekian
puluh tahun isu penerapan Syari’at Islam hilang dari pentas nasional maka pada
era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya
tanggal 21 Mei 1998, penerapan Syari’at Islam di Indonesia kembali disuarakan
kaum Muslimin baik melalui parlemen maupun di luar parlemen. Seperti yang terjadi
di parlemen ketika sidang tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000, dimana Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Biantang (F-PBB) dengan
konsisten memperjuangkan masuknya kembali ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta ke
dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi usulan ini pun kembali mendapat penentangan
dan pro-kontra di kalangan anggota dewan maupun masyarakat secara umum yang
pada akhirnya mengalami kegagalan untuk yang kesekian kalinya. Tidak
berhasilnya usulan perubahan Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat (1) tidak menyurutkan
semangat kalangan pendukung Piagam Jakarta untuk terus memperjuangkan penerapan
Syari’at Islam baik dalam forum konstitusional kenegaraan maupun di masyarkat.
Ormas-ormas Islam seperti, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Hizbullah,
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Milisi Ansharullah, Hizbut Tahrir, Al
Irsyad Al Islamiyah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Pelajar Islam
Indonesia (PII). Serta masih banyak lagi ormas, yayasan dan lembaga da’wah yang
turut menyuarakan penerapan Syari’at Islam.
Komentar
Posting Komentar