Politik sangat
penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Tanpa politik setiap manusia akan
menjadi mangsa manusia yang lain. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa bila
kehidupan kosong dari politik dan kekuasaan, maka kekacauan akan terjadi, suatu
peradaban pun tidak akan berkembang, bahkan tidak akan muncul. Dr. Dhiyauddin
Rais menggolongkan masalah mendirikan institusi pemerintahan merupakan fardhu
kifayah, berdirinya pemerintahan merupakan sebuah kewajiban kepada sebagian orang,
namun bila tidak ada semua akan mendapatkan dosa. Dalam arti, urgensi adanya
pemerintahan atau politik adalah untuk mencegah adanya kekacauan dalam
kehidupan manusia, dan mengatur kehidupan tersebut agar menuju kepada
kebahagiaan dan kesejahteraan.
Tujuan untuk
mengatur kehidupan manusia ini sejalan dengan ajaran islam, sehingga dalam
islam terdapat konsep mengenai politik . Dalam ajaran islam terdapat konsep
yang lengkap dan sempurna. Kesempurnaan dalam islam meliputi segala macam segi
kehidupan, dan termasuk di dalamnya adalah perihal mengenai politik. Dalam
bukunya yang berjudul Fiqhu ad Daulah fi al Islam, Dr. Yusuf Qordhowi
menyebutkan bahwa islam mempunyai hubungan erat dengan politik. Jika Islam
tidak memiliki konsep perpolitikan, maka Islam sama saja dengan agama yang
lain, seperti Budha atau Kristen. Hal ini dikarenakan Islam bukan hanya sekedar
agama, namun sekumpulan ajaran yang
berisi aturan-aturan umum tentang kehidupan.
Seperti telah
disinggung sebelumnya bahwa antara islam dan politik mempunyai keterkaitan yang
sangat erat. Imam al Ghazali dalam bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad menyebutkan
bahwa agama dan kekuasaan merupakan saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan
kekuasaan adalah penjaganya, maka setiap pondasi yang tidak mempunyai penjaga akan
hilang. Senada dengan Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa
menyelenggarakan perpolitikan merupakan kewajiban yang utama dalam agama,
bahkan beliau menambahkan bahwa tegaknya agama tergantung tegak
perpolitikannya. Maka jelas, satu hal yang pasti dalam pemerintahan islam
adalah agama sebagai pondasi dari bangunan perpolitikannya.
Allah adalah pemegang kedaulatan tertinggi.
Sebagaimana Sayyid Quthub menjelaskan bahwa, dengan menjadikan Allah sebagai
Penguasa Tertinggi, maka kesatuan misi akan terwujud. Sikap tunduk kepada Sang
Penguasa Tunggal pun akan menjadikan manusia terbebas sari sikap tunduk kepada
sesuatu yang lain, yang belum tentu berkuasa atas manusia. Abu A’la al Maududi
mengatakan bahwa jika kepercayaan kepada Allah hilang, maka tuhan-tuhan palsu
akan mengambil tempat-Nya dalam pemikiran dan kelakuan rakyat. Namun bukan
berarti bahwa politik islam adalah berbentuk theokrasi seperti yang
terjadi di Barat. Dalam bentuk ini, kedaulatan Tuhan dianggap diwakilkan kepada
para pejabat gereja, sehingga segala keputusan gereja adalah keputusan Tuhan,
dan rakyat wajib mentaatinya tanpa kompromi. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan
penolakannya bila politik Islam dianggap semisal dengan bentuk theokrasi
ala Barat. Beliau menyatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem
pemerintahan madani atau berperadaban dengan menjadikan hukum Islam
sebagai landasannya. Dijalankan atas dasar perjanjian dan musyawarah, dan para
pemimpinnya dipilih dari yang paling kuat dan dapat dipercaya, serta berilmu.
Dalam islam tidak dikenal adanya kekuasaan para pemuka agama, karena dalam
islam, setiap orang mempunyai tanggung jawab yang sama atas agamanya.
Saat ini
demokrasi menjadi sistem yang begitu diagungkan hampir di semua belahan bumi
Allah. Ideologi kebebasan berdasarkan aspirasi rakyat menjadi isu sentral di
dalamnya. Rakyat menjadi pedoman kedaulatan dalam kegiatan perpolitikan,
sehingga rakyat mempunyai kuasa dalam pemerintahan sebuah negara. Abraham
Lincoln pada tahun 1863 menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Maksudnya, pemerintahan demokrasi adalah berasal
dari urusan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat demi kesejahteraan rakyat. Namun ideologi kerakyatan ini ternyata tidak
selalu membawa pada sebuah kesejahteraan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Permasalahannya adalah ketika ideologi kerakyatan ini dihadapkan pada kenyataan
pluralitas masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan ideologi, tidak
semuanya memiliki prinsip yang sama dalam merealisasikan kedaulatan rakyat
tersebut. Juga tentang bagaimana kedaulatan rakyat mampu menyatukan berbagai
macam ideologi sehingga mampu diterima oleh semua pihak.
Plato meragukan
demokrasi yang tidak mampu mendatangkan keadilan hanya dengan prinsip
kesetaraan. Menurutnya juga, dalam soal pemerintahan demokrasi sulit untuk
mengetahui siapa yang memiliki keahlian terbaik, dan lebih sulit lagi
dipastikan apakah seorang politisi akan lebih
menggunakan keahliannya demi kepentingan masyarakat ketimbang
kepentingan pribadinya sendiri, kepentingan partainya. Hal serupa dijelaskan
oleh kaum Marxis, yang menambahkan bahwa demokrasi gagal bila dilihat dari
janji-janjinya. Rosseau juga mengkritik sistem perwakilan dalam demokrasi,
bahwasannya sistem demokrasi perwakilan adalah sistem yang berasal dari
kemalasan orang untuk menaruh perhatian terhadap masalah bersama, dan juga dari
nafsu uang. Artinya dalam demokrasi, konsep dan partisipasi rakyat pun memiliki
masalah.
Dari beberapa
kritik tersebut dapat disimpulkan bahwa sangat perlu mengetahui apakah pedoman
yang dipakai dalam kedaulatan rakyat demokrasi bisa dijadikan standar untuk
mewujudkan keadilan bagi rakyat itu sendiri. Dan apakah Islam sebagai sebuah
agama yang sempurna juga memiliki konsep
kedaulatan rakyat?. Dan apa yang dijadikan pedoman dalam hal ini.
Ibnu Taimiyyah
dalam bukunya Siyasah as Syar’iyyah menyatakan bahwa kepemimpinan adalah
wajib dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam al-Ghazali juga
menambahkan bahwa keteraturan agama dalam hal ini syari’at, tidak akan tercapai
kecuali dengan adanya pemimpin yang layak untuk ditaati. Maka dari itu, pengangkatan seserorang
menjadi wajib untuk kepentingan agama. Kemudian siapakah yang layak menjadi
pemimpin?. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa seseorang pemimpin adalah
mempunyai kelebihan di antara yang lainnya. Kelebihan tersebut merupakan
kelebihan pribadinya, seperti memiliki kemampuan dalam mengatur masyarakat dan yang
lainnya, kemudian juga kemampuan membawa mereka kepada hal yang benar. Dan itu
semua dibarengi dengan kemampuannya dalam mencukupi rakyatnya (mensejahterakan),
berilmu juga berakhlak mulia.
Selain adanya
seorang pemimpin dalam teori politik Islam dikenal dengan adanya Ahlu Halli
wa al-Aqdi. Para sejarawan muslim kebanyakan menyandarkan pengertian mereka
mengenai Ahlu Halli wa al-Aqdi ini dengan pertemuan Tsafiqah. Yaitu
pertemuan kaum Anshar setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang akhirnya terpilih
Abu Bakar as Siddiq ra sebagai khalifah. Prof. H. A. Djazuli menjelaskan bahwa
pertemuan ini mengindikasikan bahwa dalam teori islam mengenal yang namanya
sistem perwakilan.
Al Maududi
mendefinisikan Ahlu Halli wa al-Aqdi sebagai legislatif. Beliau
menjelaskan bahwa dalam Quran S. AL Ahzab: 36, dikatakan jika Allah dan
Rasul-nya telah memberikan peraturan dalam suatu masalah , tak seorang muslim
yang berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri. Kemudian sudah
jelas bahwa tidak ada yang boleh membuat hukum selain hukum Allah, maka dengan
demikian tugas dari lembaga legislatif ini adalah membuat hukum-hukum yang
sesuai dengan hukum Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar