Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

PLNRI Bebas Aktif 1945



Politik luar negeri bebas-aktif tercatat pertama kali dicetuskan oleh Sutan Sjahrir di New Delhi pada tahun 1947, pada saat Inter Asia Relations Conference. Pada waktu itu Sjahrir mengatakan (Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa ke Masa: Buku IV A Periode 1966-1995 (Masa Orde Baru), 1998):
“Dunia tampaknya memaksa kita untuk membuat pilihan antara kekuatan yang saling bermusuhan sekarang: antara blok Anglo-Saxon dan Soviet Rusia. Tetapi kita secara benar menolak untuk dipaksa. Kita mencari wujud internasional, yang sesuai dengan kehidupan interen kita dan kita tidak ingin terperangkap dalam sistem-sistem yang tidak cocok dengan kita dan tentu saja tidak ke dalam sistem-sistem yang bermusuhan dengan tujuan kita.”
Pernyataan Sjahrir di atas dengan jelas mengisyaratkan kebebasan sikap untuk lepas dari “perangkap” dan “sistem-sistem yang tidak cocok” atau “sistem-sistem yang bermusuhan” dengan dasarkonstitusi. Pernyataan tersebut sekaligus menemukan konteksnya di masa itu, dimana dua kekuatan besar dunia bersaing memperebutkan pengaruh, yaitu Blok Soviet dan Blok Sekutu.
Negara yang baru merdeka seperti Indonesia pun sebenarnya tidak lepas dari godaan berat untuk memihak salah satu blok. Sebagai negara baru yang masih perlu membangun kualitas masyarakat dan pembangunan, negara-negara besar merupakan tempat yang paling cocok untuk mendapatkan modal-modal pembangunan. Oleh karena itu, konsepsi peran Indonesia dalam sistem internasional mendapatkan ujian berupa tekanan sistem internasional untuk bergabung salah satu blok.
Konsepsi peran sebagai negara yang “bebas” pun mengalami pertentangan dalam negeri. Misalnya pada saat Muso kembali dari Uni Soviet, Muso memperkuat pihak oposisi di parlemen yang dipimpin kubu Amir Syarifuddin. Pada waktu itu Mohammad Hatta memegang posisi perdana menteri dalam sistem parlementer. Muso berusaha mempengaruhi Hatta agar Indonesia memihak pada Uni Soviet dalam situasi Perang Dingin. Hatta pun kemudian menegaskan kembali sikap Indonesia yang tertuang dalam pidatonya di Sidang Badan pekerja KNIP di Yogyakarta tanggal 2 September 1948:
“Apakah bangsa Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaannya, tidak mempunyai jalan lain daripada memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika? Pemerintah Indonesia berpendapat, bahwa kedudukan Indonesia dalam politik internasional bukan tempat yang pasif. Politik Republik Indonesia harus ditentukan sesuai dengan kepentingan sendiri dan fakta-fakta yang dihadapi. Garis politik Indonesia tidak dapat digantungkan kepada politik negara lain, yang mengejar kepentingan sendiri.”
Dengan begitu, tidak ada kata lain, Indonesia tetap tidak memihak baik blok Soviet maupun Sekutu. Pidato itu sendiri kemudian dikenal dengan “Mendayung Di Antara Dua Karang”, dan merupakan tonggak penting deklarasi Indonesia atas politik bebas-aktif. Pidato Hatta tersebut sekaligus menegaskan apa yang diucapkan Sutan Sjahrir saat menghadiri Inter Asia Relations Conference di India.
Meskipun begitu, menurut Herberth Feith (1962) pada kenyataannya baru pada masa Kabinet Ali Sastroamdjojo tahun 1953 politik luar negeri bebas aktif dilaksanakan dengan tepat oleh Indonesia. Menurut Feith, pada masa-masa sebelum itu, Indonesia disibukkan dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mencari pengakuan kedaulatan. Politik dalam negeri mendapatkan porsi yang mendekati total dibandingkan dengan politik luar negeri. Dengan kata lain, Indonesia masih sibuk dalam menata urusan-urusan domestik. Sikap internasional yang ditunjukkan kabinet-kabinet pada masa sebelum Kabinet Ali terletak pada bagaimana menggunakan tekanan internasional demi kepentingankepentingan domestik, seperti dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Itu pun masih terbatas, yaitu menggunakan bantuan Inggris dan Amerika Serikat sebagai sebuah negara penengah, bukan sebagai perwakilan dari suatu organisasi multilateral yang berpengaruh. Oleh karena itu, Herbert Feith menyebut Indonesia masih memberlakukan politik bebas-pasif.
Penelitian mengenai politik luar negeri Indonesia seringkali dilakukan. Beberapa penelitian terkini mengenai politik luar negeri Indonesia misalnya dilakukan oleh Syamsul Hadi mengenai respon Indonesia atas kebangkitan Tiongkok yang berdampak secara keamanan dan ekonomi. Dalam konteks keamanan, kehadiran Tiongkok membuat negara di luar kawasan seperti AS untuk berperan lebih besar sebagai penyeimbang.
Kemudian penelitian Evan A. Laksmana yang menelaah mengenai profil politik luar negeri Indonesia berdasarkan posisi geografis dan jumlah populasi. Menurut Laksmana, menifestasi politik luar negeri Indonesia dan profil global selalu berdasarkan pemanfaatan nilai-nilai normatif dan moral. pemanfaatan norma dilakukan oleh Indonesia dalam berbagaiforum internasional seperti ASEAN. Kemudian, demokratisasi yang terjadi sejak tahun 1998 membuat reputasi Indonesia menjadi lebih baik di dunia internasional yang kemudian digunakan sebagai sumber (soft power); Secara khusus, Laksmana menggaris bawahi posisi Indonesia secara geografis dan jumlah populasi besar yang justru dapat menjadi ancaman bagi Indonesia karena pemerintah tidak mampu memenuhi persyaratan minimal dalam pertahanan.
Penelitian bersumber dari sejarah juga dilakukan oleh Paige Johnson Tan dalam Navigating a Turbulent Ocean: Indonesias Worldview and Foreign Policy dalam Asian Perspectives tahun 2007 mengeksplorasi definisi, asal usul dan pandangan Indonesia dalam hubungan internasional. Indonesia sebagai negara dengan wilayah yang luas, sejarah, budaya. lokasi yang strategis dan prinsip politik luar negeri memiliki peran sebagai pemimpin di kawasan. Makalah ini membahas bagaimana perspektif Soekerano, Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono dalam memandang politik luar negeri.

Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente

Konflik Poso