Politik luar negeri bebas-aktif tercatat
pertama kali dicetuskan oleh Sutan Sjahrir di New Delhi pada tahun 1947, pada
saat Inter Asia Relations Conference. Pada waktu itu Sjahrir mengatakan (Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa ke
Masa: Buku IV A Periode 1966-1995 (Masa Orde Baru), 1998):
“Dunia tampaknya memaksa kita untuk membuat
pilihan antara kekuatan yang saling bermusuhan sekarang: antara blok
Anglo-Saxon dan Soviet Rusia. Tetapi kita secara benar menolak untuk dipaksa.
Kita mencari wujud internasional, yang sesuai dengan kehidupan interen kita dan
kita tidak ingin terperangkap dalam sistem-sistem yang tidak cocok dengan kita
dan tentu saja tidak ke dalam sistem-sistem yang bermusuhan dengan tujuan
kita.”
Pernyataan Sjahrir di atas dengan jelas
mengisyaratkan kebebasan sikap untuk lepas dari “perangkap” dan “sistem-sistem
yang tidak cocok” atau “sistem-sistem yang bermusuhan” dengan dasarkonstitusi.
Pernyataan tersebut sekaligus menemukan konteksnya di masa itu, dimana dua kekuatan
besar dunia bersaing memperebutkan pengaruh, yaitu Blok Soviet dan Blok Sekutu.
Negara yang baru merdeka seperti Indonesia pun
sebenarnya tidak lepas dari godaan berat untuk memihak salah satu blok. Sebagai
negara baru yang masih perlu membangun kualitas masyarakat dan pembangunan,
negara-negara besar merupakan tempat yang paling cocok untuk mendapatkan
modal-modal pembangunan. Oleh karena itu, konsepsi peran Indonesia dalam sistem
internasional mendapatkan ujian berupa tekanan sistem internasional untuk
bergabung salah satu blok.
Konsepsi peran sebagai negara yang “bebas” pun
mengalami pertentangan dalam negeri. Misalnya pada saat Muso kembali dari Uni
Soviet, Muso memperkuat pihak oposisi di parlemen yang dipimpin kubu Amir
Syarifuddin. Pada waktu itu Mohammad Hatta memegang posisi perdana menteri
dalam sistem parlementer. Muso berusaha mempengaruhi Hatta agar Indonesia
memihak pada Uni Soviet dalam situasi Perang Dingin. Hatta pun kemudian menegaskan
kembali sikap Indonesia yang tertuang dalam pidatonya di Sidang Badan pekerja
KNIP di Yogyakarta tanggal 2 September 1948:
“Apakah bangsa Indonesia yang berjuang
untuk kemerdekaannya, tidak mempunyai jalan lain daripada memilih antara
pro-Rusia atau pro-Amerika? Pemerintah Indonesia berpendapat, bahwa kedudukan
Indonesia dalam politik internasional bukan tempat yang pasif. Politik Republik
Indonesia harus ditentukan sesuai dengan kepentingan sendiri dan fakta-fakta yang
dihadapi. Garis politik Indonesia tidak dapat digantungkan kepada politik
negara lain, yang mengejar kepentingan sendiri.”
Dengan begitu, tidak ada kata lain, Indonesia
tetap tidak memihak baik blok Soviet maupun Sekutu. Pidato itu sendiri kemudian
dikenal dengan “Mendayung Di Antara Dua Karang”, dan merupakan tonggak penting
deklarasi Indonesia atas politik bebas-aktif. Pidato Hatta tersebut sekaligus
menegaskan apa yang diucapkan Sutan Sjahrir saat menghadiri Inter Asia Relations
Conference di India.
Meskipun begitu, menurut Herberth Feith (1962)
pada kenyataannya baru pada masa Kabinet Ali Sastroamdjojo tahun 1953 politik
luar negeri bebas aktif dilaksanakan dengan tepat oleh Indonesia. Menurut
Feith, pada masa-masa sebelum itu, Indonesia disibukkan dalam membangun Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mencari pengakuan kedaulatan. Politik
dalam negeri mendapatkan porsi yang mendekati total dibandingkan dengan politik
luar negeri. Dengan kata lain, Indonesia masih sibuk dalam menata urusan-urusan
domestik. Sikap internasional yang ditunjukkan kabinet-kabinet pada masa
sebelum Kabinet Ali terletak pada bagaimana menggunakan tekanan internasional
demi kepentingankepentingan domestik, seperti dalam perundingan-perundingan
dengan Belanda. Itu pun masih terbatas, yaitu menggunakan bantuan Inggris dan
Amerika Serikat sebagai sebuah negara penengah, bukan sebagai perwakilan dari
suatu organisasi multilateral yang berpengaruh. Oleh karena itu, Herbert Feith
menyebut Indonesia masih memberlakukan politik bebas-pasif.
Penelitian mengenai politik luar negeri Indonesia
seringkali dilakukan. Beberapa penelitian terkini mengenai politik luar negeri
Indonesia misalnya dilakukan oleh Syamsul Hadi mengenai respon Indonesia atas
kebangkitan Tiongkok yang berdampak secara keamanan dan ekonomi. Dalam konteks
keamanan, kehadiran Tiongkok membuat negara di luar kawasan seperti AS untuk
berperan lebih besar sebagai penyeimbang.
Kemudian penelitian Evan A. Laksmana yang
menelaah mengenai profil politik luar negeri Indonesia berdasarkan posisi
geografis dan jumlah populasi. Menurut Laksmana, menifestasi politik luar
negeri Indonesia dan profil global selalu berdasarkan pemanfaatan nilai-nilai normatif
dan moral. pemanfaatan norma dilakukan oleh Indonesia dalam berbagaiforum
internasional seperti ASEAN. Kemudian, demokratisasi yang terjadi sejak tahun
1998 membuat reputasi Indonesia menjadi lebih baik di dunia internasional yang
kemudian digunakan sebagai sumber (soft power); Secara khusus, Laksmana menggaris
bawahi posisi Indonesia secara geografis dan jumlah populasi besar yang justru
dapat menjadi ancaman bagi Indonesia karena pemerintah tidak mampu memenuhi
persyaratan minimal dalam pertahanan.
Penelitian bersumber dari sejarah juga dilakukan
oleh Paige Johnson Tan dalam Navigating a Turbulent Ocean: Indonesias Worldview
and Foreign Policy dalam Asian Perspectives tahun 2007 mengeksplorasi definisi,
asal usul dan pandangan Indonesia dalam hubungan internasional. Indonesia sebagai
negara dengan wilayah yang luas, sejarah, budaya. lokasi yang strategis dan prinsip
politik luar negeri memiliki peran sebagai pemimpin di kawasan. Makalah ini
membahas bagaimana perspektif Soekerano, Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono
dalam memandang politik luar negeri.
Komentar
Posting Komentar