1.
Identitas
Buku
Judul : Agama Pelacur-Dramaturgi
Transendental
Penulis : Prof.
Dr. Nur Syam, M.Si
Penerbit : LKiS
Group
Halaman : xviii + 200
Cetakan : Pertama, 2011
ISBN :
979-25-5330-4
2.
Pratinjau
Wanita merupakan simbol keindahan
ciptaan Tuhan. Segala sesuatu yang indah lainnya selalu akan terlihat pas jika
disandingkan dengan makhlukNya yang satu ini. Perlambang kenikmatan bagi
kebanyakan makhluk adam. Segala sanjungan teristimewa untuknya terutama dari
makhluk pasangannya yang bernama laki-laki. Pria belum lengkap tanpa
kehadirannya. Terlebih untuk memenuhi hasrat biologis. Tak berdaya hidup mereka
tanpa pemuasan dan pelayanan dari sang kaum hawa. Kodrati Sang Pencipta
memang membuat dua jenis makhlukNya ini untuk saling berdampingan. Gender.
Keduanya diciptakan dengan perbedaan dan peranan masing-masing. Laki-laki lebih
ke peranan publik sedangkan perempuan bercorak domestik. Bersatunya mereka
tidak hanya sebagai kegiatan yang bertujuan untuk reproduksi, tetapi juga
mengandung makna rekreasi. Seks merupakan kawasan rahasia dan tabu untuk
dibicarakan. Namun jika seks sudah menjadi kata benda, yaitu seksualitas,
ia sudah bisa dibicarakan secara terbuka. Seiring waktu hampir semua media
memiliki rubrik konsultasi seksualitas. Seks telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap agama telah memiliki mitologinya
sendiri terkait dengan seksualitas dalam relasinya dengan dunia kosmologi. Umat
islam meyakini bahwa manusia pertama adalah adam yang kemudian disusul oleh pasangannya hawa.
Sementara mitologi seksualitas jepang dunia tercipta dari tindakan dua pasang
makhluk izanami dan izanagi.
Pada masa purba
manusia meniru prilaku binatang dalam berhubungan seks. Kemudian dengan seiring
ketatnya norma agama, prilaku seksual mendapat sentuhan moralitas. Seks adalah
sesuatu yang sakral dan harus didahului dengan tindakan perkawinan resmi yang
diselenggarakan masyarakat atau negara. Hingga sampai pada saat ini ketika
agama sudah mulai kehilangan daya rekat moralitasnya muncul “pasar raya” seksualitas,kebebasan
seks tanpa batas. Fenomena pelacuran menjadi pilihan profesi dan industri seks di media menjadi mesin
penggeruk uang.
Begitu tutur
rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam melengkapi tulisannya ini. Mengupas
tuntas tentang seksualitas, gender, hingga feminisme. Dan memunculkan bahasan
pokoknya mengenai wanita dengan titel pelacur dalam hal kebutuhan
berketuhanannya. Meski Tuhan di sini tidak diinstitusionalkan dalam bentuk
agama. Akan tetapi mengikuti konsep
kebutuhan asasi manusia yakni kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya.
Kebutuhan integratif yang merupakan kebutuhan dalam pemenuhan hasrat
kerohanian. Penulis secara langsung melakukan penelitian lapangan untuk
religuisitas pelacur yang tergolong masih langka ini. Seorang pelacur yang
dikonstruksikan sebagai perempuan nakal yang menempati lembah hitam menurut
penulis adalah korban dari sebuah sistem sosial yang tidak ramah padanya, korban
pengakuan masyarakat yang sudah terimbas budaya kapitalis, masyarakat yang
sudah mengarah dan cenderung materialistis. Dalam menganalisa tindakan kaum
pelacur ini, penulis menggunakan metode dramaturgi-transendental yang
dikembangkan Erving Goffman (1922-1982).
3.
Kelebihan
dan Kesalahan
1)
Kelebihan
Tulisan yang sangat apik dalam membeberkan masalah dengan susunan
yang tepat dan menarik. Jarang sekali orang meneliti seperti apa yang dibahas
Prof. Mujamil ini. Terlebih dengan menggunakan sekaligus mengenalkan metode
dramaturgi yang orang banyak belum mengetahui. Buku ini memberikan informasi
banyak kepada pembaca tentang sepak terjang wanita tuna susila yang selama ini
belum banyak juga orang mengetahui.
2)
Kesalahan
Pembahasan penulis yang terlalu lepas bebas mengindikasikan pembenaran
kuat terhadap prilaku pelacuran. Selama pekerja seks komersial memilki
keimanan, suka beribadah, berdoa, shalat dan ritual ibadah lainnya, praktik
pelacuran adalah perbuatan yang sah-sah saja. Pandangan tersebut tentu tidak
akan memberi efek sadar kepada pelacur. Karena dalam pandangan ini posisi
meraka tidak perlu disalahkan. Di satu sisi prilaku pelacuran adalah
bertentangan dengan agama, tapi di sisi lain para kupu-kupu malam pun memiliki
keimanan dan suka beribadah. Berdasarkan hal tersebut, para pelacur
direfleksikan memiliki ruang agama yang kemudian menjadi modal untuk pembenaran
prilakunya. Banyak ungkapan-ungkapan penulis yang menodai agama, khususnya
islam. Penulis menggambarkan di sekitar pelacur ada sajadah, kitab suci, dan
lantunan ayat suci yang dikumandangkan di tengah aktivitasnya sebagai
pramunikmat melayani paralelaki hidung belang. Dari tulisannya, penulis
menganggap bahwa fenomena pelacuran adalah bentuk keberagamaan pelacur.
Banyak
kekeliruan yang penulis simpulkan mengenai relasi agama dan kehidupan sosial
pelacur ini. Keliru dalam memahami agama terutama islam. Kemudian memandang
kisah adam dan hawa sebagai sebuah mitos dan disejajarkan dengan cerita-cerita
yang ada pada agama hindu, budha dan lainnya. Pandangan seperti ini secara
tidak langsung merelatifkan suatu kebenaran yang sudah jelas yang memberi pada
pemahaman pluralisme. Memandang agama hanya sebatas keyakinan tanpa konsekuensi
tegas yang ada di dalamnya. Kekeliruan juga terjadi dalam penggunaannya
terhadap teori dramaturgi. Dalam buku ini penulis mengklasifikasikan bahwa
menjual dirinya kepada hidung belang adalah bagian dari front stage.
Sedangkan perbuatan ritual pelacur
sebagai back stage kehidupan pelacur. Kegiatan penjualan diri
yang penulis katakan sebagai front stage dramaturgi justru adalah
sesuatu yang dianggap hina. Bukan menarik perhatian masyarakat atau penonton
tetapi menarik cemoohan. Seharusnya hal ini dijadikan back stage kalau
memang penulis konsisten terhadap teori yang digunakannya dalam melihat masalah
ini. Sedangkan bagian front stage adalah prilaku ketika mereka
beribadahnya. Karena front stage dramaturgi marving goffman ini adalah usaha
yan dilakukan aktor sosial untuk menampilkan suatu self atau diri yang
diidealkan agar dapat diakui dan diterima oleh masyarakat.
Komentar
Posting Komentar