Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

Agama Pelacur

1.  



   Identitas Buku
Judul               : Agama Pelacur-Dramaturgi Transendental
Penulis             : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Penerbit           : LKiS Group
Halaman          : xviii + 200
Cetakan           : Pertama, 2011
ISBN              : 979-25-5330-4

2.      Pratinjau
Wanita merupakan simbol keindahan ciptaan Tuhan. Segala sesuatu yang indah lainnya selalu akan terlihat pas jika disandingkan dengan makhlukNya yang satu ini. Perlambang kenikmatan bagi kebanyakan makhluk adam. Segala sanjungan teristimewa untuknya terutama dari makhluk pasangannya yang bernama laki-laki. Pria belum lengkap tanpa kehadirannya. Terlebih untuk memenuhi hasrat biologis. Tak berdaya hidup mereka tanpa pemuasan  dan pelayanan  dari sang kaum hawa. Kodrati Sang Pencipta memang membuat dua jenis makhlukNya ini untuk saling berdampingan. Gender. Keduanya diciptakan dengan perbedaan dan peranan masing-masing. Laki-laki lebih ke peranan publik sedangkan perempuan bercorak domestik. Bersatunya mereka tidak hanya sebagai kegiatan yang bertujuan untuk reproduksi, tetapi juga mengandung makna rekreasi. Seks merupakan kawasan rahasia dan tabu untuk dibicarakan. Namun jika seks sudah menjadi kata benda, yaitu seksualitas, ia sudah bisa dibicarakan secara terbuka. Seiring waktu hampir semua media memiliki rubrik konsultasi seksualitas. Seks telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap agama telah memiliki mitologinya sendiri terkait dengan seksualitas dalam relasinya dengan dunia kosmologi. Umat islam meyakini bahwa manusia pertama adalah adam yang  kemudian disusul oleh pasangannya hawa. Sementara mitologi seksualitas jepang dunia tercipta dari tindakan dua pasang makhluk izanami dan izanagi.
Pada masa purba manusia meniru prilaku binatang dalam berhubungan seks. Kemudian dengan seiring ketatnya norma agama, prilaku seksual mendapat sentuhan moralitas. Seks adalah sesuatu yang sakral dan harus didahului dengan tindakan perkawinan resmi yang diselenggarakan masyarakat atau negara. Hingga sampai pada saat ini ketika agama sudah mulai kehilangan daya rekat moralitasnya muncul “pasar raya” seksualitas,kebebasan seks tanpa batas. Fenomena pelacuran menjadi pilihan profesi dan  industri seks di media menjadi mesin penggeruk uang.
Begitu tutur rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam melengkapi tulisannya ini. Mengupas tuntas tentang seksualitas, gender, hingga feminisme. Dan memunculkan bahasan pokoknya mengenai wanita dengan titel pelacur dalam hal kebutuhan berketuhanannya. Meski Tuhan di sini tidak diinstitusionalkan dalam bentuk agama. Akan tetapi  mengikuti konsep kebutuhan asasi manusia yakni kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya. Kebutuhan integratif yang merupakan kebutuhan dalam pemenuhan hasrat kerohanian. Penulis secara langsung melakukan penelitian lapangan untuk religuisitas pelacur yang tergolong masih langka ini. Seorang pelacur yang dikonstruksikan sebagai perempuan nakal yang menempati lembah hitam menurut penulis adalah korban dari sebuah sistem sosial yang tidak ramah padanya, korban pengakuan masyarakat yang sudah terimbas budaya kapitalis, masyarakat yang sudah mengarah dan cenderung materialistis. Dalam menganalisa tindakan kaum pelacur ini, penulis menggunakan metode dramaturgi-transendental yang dikembangkan Erving Goffman (1922-1982).
3.      Kelebihan dan Kesalahan
1)      Kelebihan
Tulisan yang sangat apik dalam membeberkan masalah dengan susunan yang tepat dan menarik. Jarang sekali orang meneliti seperti apa yang dibahas Prof. Mujamil ini. Terlebih dengan menggunakan sekaligus mengenalkan metode dramaturgi yang orang banyak belum mengetahui. Buku ini memberikan informasi banyak kepada pembaca tentang sepak terjang wanita tuna susila yang selama ini belum banyak juga orang mengetahui.


2)      Kesalahan
Pembahasan penulis yang terlalu lepas bebas mengindikasikan pembenaran kuat terhadap prilaku pelacuran. Selama pekerja seks komersial memilki keimanan, suka beribadah, berdoa, shalat dan ritual ibadah lainnya, praktik pelacuran adalah perbuatan yang sah-sah saja. Pandangan tersebut tentu tidak akan memberi efek sadar kepada pelacur. Karena dalam pandangan ini posisi meraka tidak perlu disalahkan. Di satu sisi prilaku pelacuran adalah bertentangan dengan agama, tapi di sisi lain para kupu-kupu malam pun memiliki keimanan dan suka beribadah. Berdasarkan hal tersebut, para pelacur direfleksikan memiliki ruang agama yang kemudian menjadi modal untuk pembenaran prilakunya. Banyak ungkapan-ungkapan penulis yang menodai agama, khususnya islam. Penulis menggambarkan di sekitar pelacur ada sajadah, kitab suci, dan lantunan ayat suci yang dikumandangkan di tengah aktivitasnya sebagai pramunikmat melayani paralelaki hidung belang. Dari tulisannya, penulis menganggap bahwa fenomena pelacuran adalah bentuk keberagamaan pelacur.

Banyak kekeliruan yang penulis simpulkan mengenai relasi agama dan kehidupan sosial pelacur ini. Keliru dalam memahami agama terutama islam. Kemudian memandang kisah adam dan hawa sebagai sebuah mitos dan disejajarkan dengan cerita-cerita yang ada pada agama hindu, budha dan lainnya. Pandangan seperti ini secara tidak langsung merelatifkan suatu kebenaran yang sudah jelas yang memberi pada pemahaman pluralisme. Memandang agama hanya sebatas keyakinan tanpa konsekuensi tegas yang ada di dalamnya. Kekeliruan juga terjadi dalam penggunaannya terhadap teori dramaturgi. Dalam buku ini penulis mengklasifikasikan bahwa menjual dirinya kepada hidung belang adalah bagian dari front stage. Sedangkan perbuatan ritual pelacur  sebagai back stage kehidupan pelacur. Kegiatan penjualan diri yang penulis katakan sebagai front stage dramaturgi justru adalah sesuatu yang dianggap hina. Bukan menarik perhatian masyarakat atau penonton tetapi menarik cemoohan. Seharusnya hal ini dijadikan back stage kalau memang penulis konsisten terhadap teori yang digunakannya dalam melihat masalah ini. Sedangkan bagian front stage adalah prilaku ketika mereka beribadahnya. Karena front stage dramaturgi marving goffman ini adalah usaha yan dilakukan aktor sosial untuk menampilkan suatu self atau diri yang diidealkan agar dapat diakui dan diterima oleh masyarakat. 

Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente

Konflik Poso