Perkembangan
Studi Hubungan International
Oleh: Yessi Olivia
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP Universitas Riau
Tulisan ini
dibuat untuk memperlihatkan perkembangan Studi Hubungan Internasional (SHI)
sejak SHI menjadi kajian akademik formal pada tahun 1919 di Universitas Wales
di Aberystwyth Inggris (sekarang menjadi Universitas Aberystwyth). Pada bagian
pertama akan dibahas tentang gambaran SHI secara umum, yaitu: sejarah
berdirinya SHI, tentang komponen-komponen keilmuan yang menjadi pembentuk SHI
dan tentang perbedaan penamaan dalam SHI. Di bagian kedua akan dibahas mengenai
perubahan-perubahan di dalam SHI sebagai cabang ilmu politik, mulai dari
epistemologi, ontologi dan metodologinya. Dan di bagian terakhir akan direview
tentang dampak perkembangan epistemologis, ontologis dan metodologis ini
terhadap HI sebagai sebuah ilmu.
Pertama,
definisi dari SHI (study of international relations) mengalami
perubahan. Awalnya, SHI didefinisikan sebagai studi tentang hubungan-hubungan
atar negara. Hubungan-hubungan tersebut hanya terbatas pada keamanan dan perang
saja. Pada perkembangannya, SHI memiliki beberapa penamaan lain, mulai dari international studies, international
politics, bahkan
global politics. Kedua, SHI adalah sebuah kajian ilmu yang masih
muda umurnya (diperkenalkan pertama kali tahun 1919). Masyarakat dunia saat itu
disibukkan dengan usaha-usaha rekonstruksi pasca perang. Selain perbaikan
infrastruktur akibat perang, masyarakat dunia juga melakukan usaha-usaha untuk
mencegah terjad perang yang serupa. Woodrow Wilson misalnya, memprakarsai
terbentuknya lembaga internasional yang bertujuan untuk mencapai perdamaian
dunia, yaitu Liga Bangsa Bangsa pada tahun 1919. Di Inggris, usaha mencegah
terjadinya perang dilakukan melalui dunia pendidikan. Ketiga, patut diketahui
bahwa SHI adalah sebuah disiplin ilmu yang terbentuk dari gabungan dari
beberapa disiplin ilmu sebelumnya. Beberapa disiplin ilmu tersebut antara lain
adalah:
1. Hukum internasional. Hukum internasional
menekankan pada aturan-aturan
yang dibuat untuk mengatur hubungan antar
negara-negara yang ada di dunia.
2. Sejarah
diplomasi. Diplomasi adalah bagian dari instrumen kebijakan luar
negeri sebuah negara
3. Ilmu kemiliteran (the art of war). Ilmu kemiliteran bahkan lebih tua
keberadaannya dari pada hukum internasional dan
diplomasi. Ilmu kemiliteran berbicara mengenai: sejarah militer, strategi dan
taktik, organisasi militer, teknologi militer dan disiplin dan moral.
4. Politik
internasional. Politik internasional adalah cabang ilmu politik yang
membahas tentang dimensi kekuatan (power) dan keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan (political equilibrium) dalam interaksi negara-negara di
dunia.
5. Organisasi
internasional (OI). Studi mengenai organisasi internasional adalah
termasuk kajian yang baru.
6. Perdagangan internasional. Ilmu perdagangan
internasional berkembang pada
abad ke 17
ketika aktivitas perdagangan internasional semakin meningkat.
7. Pemerintahan jajahan (colonial government). Bahasan-bahasan mengenai
pemerintahan
jajahan telah dimulai sejak masa Yunani dan Romawi kuno.
8. Pelaksanaan hubungan luar negeri (conduct of foreign relations). Membahas
tentang
pengambilan kebijakan luar negeri sebuah negara.
Perkembangan-perkembangan di dalam SHI
1. Perkembangan Epistemologi: ‘The
Great Debates’
Kuhn menerangkan bahwa sebuah ilmu terkait
dengan tahapan-tahan yang masing-masingnya didominasi oleh serangkaian asumsi
yang kemudian dinamai sebagai paradigma10. Paradigma yang dominan pada dasarnya
adalah sebuah kerangka yang berisikan asumsi-asumsi yang terbentuk melalui
proses dialektika
dan diakui
keberadaannya sebagai akumulasi dari kebijakan.
Kuhn bukanlah seorang ilmuwan sosial, namun
oleh ilmuwan SHI, tulisan Kuhn ini dijadikan dasar untuk menggambarkan
perjalanan SHI sebagai sebuah ilmu. SHI telah mencapai pada tahapan-tahapan di
mana terbentuk paradigma-paradigma yang memiliki asumsi berbeda satu sama lain.
Terkait dengan keberadaan paradigma di dalam SHI, setidaknya telah terjadi
empat perdebatan besar antara paradigma-paradigma yang ada. Fokus perdebatan
tersebut adalah seputar: (1) apakah SHI tersebut berbicara tentang pemahaman (understanding)
atau penjelasan (explanation) dan (2) pendekatan apa yang baiknya
digunakan dalam memahami ataupun menjelaskan sebuah peristiwa. Pertama adalah
kelompok yang berusaha untuk menjelaskan fenomena HI melalui pendekatan
saintifik, disebut juga sebagai kelompok positivis. Kedua adalah kelompok yang
menolak pendekatan saintifik yang digunakan oleh kelompok pertama karena
penelitian di dalam ilmu sosial cenderung bias dan tidak bebas nilai. Kelompok terakhir
ini disebut sebagai kelompok post positivis.
Debat pertama terjadi dalam
kurun waktu 1930-1950an, antara kelompok idealis (utopian liberalism) dengan kelompok realis. Orang-orang yang
kemudian dilabeli sebagai idealis/utopis ini juga berbicara tentang upaya untuk
menciptakan perdamaian dunia melalui penerapan hukum internasional maupun
organisasi internasional.14 Ide-ide pemikir realis klasik seperti Thucydides,
Machiavelli dan Hobbes, yang berbicara tentang power dan power politics diangkat
kembali oleh ilmuwan HI saat itu. E.H. Carr adalah salah seorang pemikir dari kelompok
realis yang mengkritik optimisme kelompok idealis. Melalui bukunya yang berjudul
The Twenty Years’ Crisis ia berargumen bahwa kondisi harmonis tidak
mungkin tercapai karena negara-negara terlibat dalam konflik untuk mencapai
kepentingan masing-masing. Tulisan penting lainnya adalah karya J.H.
Morgenthau, seorang Jerman yang melarikan diri ke Amerika Serikat (AS) ketika
Nazi berkuasa. Di dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations: The
Struggle for Power, Morgenthau berpendapat bahwa hubungan internasional itu
bentuknya konfliktual karena tiap-tiap negara terlibat dalam usaha untuk mencapai
kekuasaan (the struggle for power). Di dalam debat pertama, kelompok
realis yang memfokuskan penelitian mereka pada power politics, isu-isu
keamanan, agresi, konflik dan perang, dapat dikatakan sebagai kelompok
pemenang. Realisme SHI dalam perkembangannya, tidak hanya memiliki pengaruh
pada dunia akademik tetapi juga pada kalangan praktisi seperti politisi dan
diplomat.16
Debat kedua di dalam
perkembangan SHI terjadi pada dekade 1960an. Debat terjadi antara dua kelompok
yang berbeda dalam memahami SHI. Kelompok pertama adalah kelompok
tradisionalis, pemikir-pemikir awal SHI yang menekankan pada upaya ‘memahami’ (understanding) HI. Sementara kelompok kedua memiliki fokus
yang berbeda, yaitu tentang upaya ‘menjelaskan’ (explaining). Kelompok kedua ini disebut dengan kelompok
behavioralis. Selain istilah tradisional vs. behavioralis, istilah lain yang digunakan
adalah tradisionalisme vs. sains.17 Kemunculan kelompok behavioralis ini sangat
signifikan terlihat pasca Perang Dunia II. Para ilmuwan yang dikategorikan
sebagai behavioralis berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, seperti
ilmu politik, ekonomi, bahkan matematika. Debat berakhir tanpa ada pemenang
atau kejelasan tentang siapa yang kalah. Semacam kesepakatan tercapai bahwa
upaya yang dilakukan baik oleh kelompok tradisionalis maupun behavioralis
memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lain, dan keduanya bisa saling
melengkapi.
Persoalan
ekonomi politik internasional (international political economy-IPE) ini menjadi
fokus debat ketiga di dalam SHI. Debat terjadi sepanjang dekade
1970-1980an antara kelompok neo-realis dan neo-liberalis dengan kelompok
Marxis. Kelompok neo-Marxis menyampaikan kritik kepada kelompok neo-realis dan
neo-liberalis terkait dengan ketimpangan ekonomi yang terjadi di dunia.
Kelompok IPE liberal (istilah lainnya liberalisme komersial) memiliki pandangan
yang kontras sekali dengan kelompok neo-Marxis. Menurut mereka, ekspansi
kapitalisme global diperlukan untuk mencapai kemakmuran dan perdamaian bagi seluruh
masyarakat dunia. Di dalam debat ketiga ini tampak perubahan di dalam SHI.
Apabila di awal kemunculannya isu-isu yang dibahas lebih banyak berbicara
tentang politik dan militer, debat ketiga terlihat bahwa isu-isu seperti
ekonomi dan sosial mendapat perhatian besar. Tiga paradigma yang telah
disebutkan di dalam tulisan ini; realisme, liberalism dan neo-Marxisme adalah
tiga paradigma utama (mainstream) di dalam SHI. Setidaknya hingga Perang
Dingin berakhir, ketiga paradigma ini mencirikan besarnya pengaruh positivisme
di dalam SHI. Positivisme adalah paham yang terkait
dengan upaya
membangun pengetahuan dari “eksperimen-eksperimen, observasi, dan deduksi
(menggunakan metode saintifik)”.
Dominasi
positivistik di dalam SHI mulai dipertanyakan oleh pendekatan-pendekatan lain
(diisitilahkan dengan pendekatan post-positivis). SHI dalam hal ini,
kembali
mengalami perdebatan akademik. Di dalam debat keempat ini, yang menjadi fokus
perdebatan antara kelompok positivis dengan kelompok post-positivis, yang diwakili
oleh teori kritis, feminisme, poststrukturalisme, postkolonialisme,
konstruktivisme dan green politics, adalah hubungan antara teori dengan
realita. Debat antara kelompok positivis dan kelompok post positivis juga tidak
menghasilkan pemenang. Kritik kelompok post positivis terhadap kelompok
positivis tetap berlangsung. Walaupun begitu paradigma-paradigma mainstream,
khususnya realisme dan liberalisme masih berpengaruh besar di dalam SHI. Patut
diketahui bahwa walaupun perdebatan di dalam SHI menunjukkan perkembangan
epistemologis di mana dominasi paradigma mainstream dipertanyakan, realita
menunjukkan bahwa paradigma utama SHI, terutama realisme dan liberalisme
tetapmenjadi paradigma yang paling banyak digunakan.
3. Perkembangan Metodologi
Selain
perdebatan mengenai isu-isu substantif, misalnya apa penyebab terjadinya perang
atau apakah demokrasi akan mengekalkan perdamaian, perdebatan penting lainnya
di dalam SHI adalah mengenai metodologi. Perdebatan metodologi biasanya
membahas hal-hal filosofis tentang bagaimana penelitian baiknya dilakukan;
apakah bisa menggunakan pendekatan saintifik, apakah asumsi realis bahwa sifat
dasar manusia agresif atau asumsi liberalis bahwa manusia suka bekerja sama itu
benar, dan lain sebagainya.31 Ketika awal berdiri sebagai sebuah kajian,
orang-orang liberalisme idealis yang meneliti tentang HI kebanyakan berasal
dari kalangan non akademik. Perhatian terhadap metodologi tidak terlalu banyak
diperhatikan, karena fokus tulisan mereka bukan pada upaya menjelaskan, tapi
lebih kepada hal-hal yang harusnya diterapkan di dunia agar terhindar dari
perang. Isu mengenai metodologi baru muncul pada dekade 1950-1960an, seiring
dengan berkembangnya revolusi behavioralis di kalangan ilmuwan politik di AS.
Di dalam debat kedua, walaupun tidak ada kejelasan tentang siapa yang menang
ataupun kalah, kelompok behavioralis (terutama dari kelompok neo-realis
mendominasi SHI dan kelompok
tradisional
menjadi minoritas di dalam SHI.
Pasca usainya
Perang Dingin, dominasi ini kemudian mendapat tantangan dari kelompok yang
tergabung dalam post positivis.33
Berikut di
bawah ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang metodologi positivis dan
metodologi post
positivis.
a. Metodologi
Positivis
Patut diketahui
bahwa metodologi positivis di dalam HI memiliki tradisi behavioralisme yang
kuat. Besarnya pengaruh behavioralisme di dalam positivisme HI bisa dilihat
dari penelitian-penelitian neorealis yang menekankan pada penelitian
kuantitatif dan penggunaan teori-teori permainan (game theories) di
dalam analisisnya.
b. Metodologi Post Positivis
Untuk diketahui
post positvisme di dalam SHI tidak bisa dilihat sebagai satu kesatuan. Ada
berbagai
pendekatan post positivis yang berbeda, bahkan di dalam satu pendekatan sekalipun.
Misalnya postmodernisme atau feminisme yang memiliki variasi-variasi tersendiri.
Berikut di bawah ini adalah beberapa aliran post positivis di dalam SHI:
Teori Kritis (Critical Theory)
Teori
Kritis yang memiliki keterhubungan dengan ajaran Marxis ini dikembangkan oleh sekelompok
ilmuwan Jerman yang dikenal dengan nama aliran Frankfurt (Frankfurt School). Dalam hal ini
kelompok Teori Kritis menolak asumsi positivistik tentang “realitas eksternal
yang
obyektif,
pembedaan antara subyek dengan obyek dan ilmu sosial yang bebas nilai”.38 Ilmu sosial,
menurut Teori Kritis tidak melakukan penelitian dengan memisahkan antara si peneliti
dengan obyek yang diteliti, karena si peneliti adalah bagian dari obyek
kajiannya. Kelemahan metodologi Teori Kritis terletak pada masalah kemandirian akademik.
Kalaulah
pendapat Robert Cox tentang ‘teori adalah milik seseorang dan memiliki
tujuantujuan
tertentu’
adalah benar, maka kebenaran teori akan ditentukan oleh kekuatan politik. Padahal
seharusnya pengetahuan dan seorang ilmuwan harus bisa mandiri tanpa pengaruh dari
manapun.
Postmodernisme
Postmodernisme
adalah teori sosial yang bukan muncul belakangan di dalam SHI. Awal kemunculan
postmodernisme sendiri diinisiasi oleh sekelompok filsuf Perancis yang menolak
filsafat eksistensialisme yang saat itu mendominasi. Sama seperti kelompok
teori kritis yang berbicara tentang ‘penjara konseptual’ (conceptual prisons), kelompok postmodernis kebenaran obyektif
yang diangkat oleh eksistensialis. Postmodernisme masuk ke dalam SHI pada
dekade 1980an dengan Richard Ashley sebagai salah seorang promotornya. Kritikan
postmodernis lebih banyak ditujukan kepada kelompok neo-realis yang mempercayai
bahwa mereka telah menemukan kebenaran empiris dalam HI. Menurut postmodernis,
anggapan bahwa kondisi sistem internasional yang anarkis adalah sesuatu
kebenaran seakan-akan menunjukkan negara-negara tidak memiliki pilihan selain
beradaptasi dengan kondisi anarkis tersebut.
Konstruktivisme
Kelompok
konstruktivis melihat bahwa obyektivitas di dalam ilmu sosial adalah bentukan manusia
(human construction) dan atas kesadaran manusia itu sendiri (human consciousness).
Kelompok ini melihat bagaimana hubungan antara materi dan ide berpengaruh
terhadap bagaimana aktor menginterpretasikan realita. Fokus perhatian kelompok konstruktivis
adalah penjelasan saintifik yang diklaim oleh kelompok behavioralis.
Konstruktivisme melihat bahwa penelitian tentang dunia sosial memiliki
sifat intersubyektif, artinya penelitian tersebut hanya akan berguna bagi orang-orang
yang membuatnya dan yang memahaminya.
D. Di Mana Posisi SHI Sekarang?
Pembahasan
sebelumnya telah memperlihatkan perkembangan keilmuan HI, baik dari segi epistemologi,
ontologi dan metodologi. Tentunya akan timbul pertanyaan-pertanyaan terkait
dengan dampak perkembangan keilmuan HI. Sejak SHI yang berdiri pada tahun 1919,
SHI menjadi sebuah disiplin ilmu yang kaya akan teori, dimulai dari teori-teori
yang dianggap sangat berpengaruh, seperti liberal internasionalisme dan neo
realisme, Marxisme yang mulai kurang pengaruhnya, dan kumpulan teori-teori yang
tergabung dalam post-positivisme seperti feminisme dan green politics.
Kekayaan dan keberagaman yang dimiliki menunjukkan bahwa SHI tidak lagi
terkungkung pada masalah yang menjadi perhatian Wight pada dekade 1960an
tentang “kemampuan negara untuk bertahan hidup. dan ketiadaan kosa kata yang
tepat dalam membuat teori tentang politik global”44.
Upaya untuk mengimbangi dominasi Barat di
dalam SHI mulai terlihat ketika pasca Perang Dingin komunitas HI melihat
ketidakrelevanan teori-teori HI dalam menerangkan fenomena-fenomena HI di
kawasan non Barat. Patut untuk diperhatikan bahwa potensi untuk membuat teori
HI non Barat itu ada, namun mengalami beberapa hambatan, antara lain karena
beberapa hal: Pertama, terkait dengan kesenjangan antara kajian-kajian yang
sifatnya kewilayahan yang disebut subsistemik dengan kajian-kajian yang
sifatnya sistemik. Kedua, ketertinggalan THI di dunia non Barat terkait dengan
perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan teori hubungan internasional.
Ketiga, ketertinggalan THI non Barat terkait dengan masih besarnya pengaruh Barat
di beberapa tempat. Pengaruh ini bisa dilihat dari besarnya jumlah literatur
Barat yang dijadikan buku teks HI, sementara buku-buku teks buatan lokal sangat
terbatas jumlahnya. Keempat, kondisi ketertinggalan THI non Barat juga
ditentukan oleh infrastruktur pendidikan yang ada.
Simpulan
Tulisan
ini telah memberikan gambaran tentang perjalanan SHI sebagai ilmu pengetahuan yang
memiliki kekhususan tersendiri. Dari pembentukannya sebagai sebuah kajian yang terpisah
dari ilmu politik pada tahun 1919, SHI telah banyak mengalami perubahan-perubahan
secara keilmuan (epistemologi, ontologi maupun metodologi). Perbedaan-perbedaan
cara pandang menunjukkan SHI bukan sebuah disiplin ilmu biasa. Di dalam tulisan
ini juga ditunjukkan bahwa SHI memiliki kelemahan, di mana kajian ini sangat
didominasi oleh akademisi dari AS dan dari Eropa. Ketidakcocokan teoriteori Barat
dalam menjelaskan fenomena-fenomena HI di kawasan non Barat memunculkan
upaya-upaya untuk membuat teori HI non Barat. Namun upaya ini belum menghasilkan
sesuatu yang berarti, mengingat masih besarnya dominasi teori-teori Barat di dalam
SHI walaupun potensi untuk memunculkan teori HI non Barat itu ada.
Komentar
Posting Komentar