Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

Ringkasan Perkembangan Studi Hubungan Internasional

Perkembangan Studi Hubungan International
Oleh: Yessi Olivia

Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Riau




Tulisan ini dibuat untuk memperlihatkan perkembangan Studi Hubungan Internasional (SHI) sejak SHI menjadi kajian akademik formal pada tahun 1919 di Universitas Wales di Aberystwyth Inggris (sekarang menjadi Universitas Aberystwyth). Pada bagian pertama akan dibahas tentang gambaran SHI secara umum, yaitu: sejarah berdirinya SHI, tentang komponen-komponen keilmuan yang menjadi pembentuk SHI dan tentang perbedaan penamaan dalam SHI. Di bagian kedua akan dibahas mengenai perubahan-perubahan di dalam SHI sebagai cabang ilmu politik, mulai dari epistemologi, ontologi dan metodologinya. Dan di bagian terakhir akan direview tentang dampak perkembangan epistemologis, ontologis dan metodologis ini terhadap HI sebagai sebuah ilmu.
Pertama, definisi dari SHI (study of international relations) mengalami perubahan. Awalnya, SHI didefinisikan sebagai studi tentang hubungan-hubungan atar negara. Hubungan-hubungan tersebut hanya terbatas pada keamanan dan perang saja. Pada perkembangannya, SHI memiliki beberapa penamaan lain, mulai dari international studies, international politics, bahkan global politics. Kedua, SHI adalah sebuah kajian ilmu yang masih muda umurnya (diperkenalkan pertama kali tahun 1919). Masyarakat dunia saat itu disibukkan dengan usaha-usaha rekonstruksi pasca perang. Selain perbaikan infrastruktur akibat perang, masyarakat dunia juga melakukan usaha-usaha untuk mencegah terjad perang yang serupa. Woodrow Wilson misalnya, memprakarsai terbentuknya lembaga internasional yang bertujuan untuk mencapai perdamaian dunia, yaitu Liga Bangsa Bangsa pada tahun 1919. Di Inggris, usaha mencegah terjadinya perang dilakukan melalui dunia pendidikan. Ketiga, patut diketahui bahwa SHI adalah sebuah disiplin ilmu yang terbentuk dari gabungan dari beberapa disiplin ilmu sebelumnya. Beberapa disiplin ilmu tersebut antara lain adalah:
1. Hukum internasional. Hukum internasional menekankan pada aturan-aturan
yang dibuat untuk mengatur hubungan antar negara-negara yang ada di dunia.
2. Sejarah diplomasi. Diplomasi adalah bagian dari instrumen kebijakan luar
negeri sebuah negara
3. Ilmu kemiliteran (the art of war). Ilmu kemiliteran bahkan lebih tua
keberadaannya dari pada hukum internasional dan diplomasi. Ilmu kemiliteran berbicara mengenai: sejarah militer, strategi dan taktik, organisasi militer, teknologi militer dan disiplin dan moral.
4. Politik internasional. Politik internasional adalah cabang ilmu politik yang
membahas tentang dimensi kekuatan (power) dan keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan (political equilibrium) dalam interaksi negara-negara di
dunia.
5. Organisasi internasional (OI). Studi mengenai organisasi internasional adalah
termasuk kajian yang baru.
6. Perdagangan internasional. Ilmu perdagangan internasional berkembang pada
abad ke 17 ketika aktivitas perdagangan internasional semakin meningkat.
7. Pemerintahan jajahan (colonial government). Bahasan-bahasan mengenai
pemerintahan jajahan telah dimulai sejak masa Yunani dan Romawi kuno.
8. Pelaksanaan hubungan luar negeri (conduct of foreign relations). Membahas
tentang pengambilan kebijakan luar negeri sebuah negara.

Perkembangan-perkembangan di dalam SHI
1.  Perkembangan Epistemologi: ‘The Great Debates’
Kuhn menerangkan bahwa sebuah ilmu terkait dengan tahapan-tahan yang masing-masingnya didominasi oleh serangkaian asumsi yang kemudian dinamai sebagai paradigma10. Paradigma yang dominan pada dasarnya adalah sebuah kerangka yang berisikan asumsi-asumsi yang terbentuk melalui proses dialektika
dan diakui keberadaannya sebagai akumulasi dari kebijakan.
Kuhn bukanlah seorang ilmuwan sosial, namun oleh ilmuwan SHI, tulisan Kuhn ini dijadikan dasar untuk menggambarkan perjalanan SHI sebagai sebuah ilmu. SHI telah mencapai pada tahapan-tahapan di mana terbentuk paradigma-paradigma yang memiliki asumsi berbeda satu sama lain. Terkait dengan keberadaan paradigma di dalam SHI, setidaknya telah terjadi empat perdebatan besar antara paradigma-paradigma yang ada. Fokus perdebatan tersebut adalah seputar: (1) apakah SHI tersebut berbicara tentang pemahaman (understanding) atau penjelasan (explanation) dan (2) pendekatan apa yang baiknya digunakan dalam memahami ataupun menjelaskan sebuah peristiwa. Pertama adalah kelompok yang berusaha untuk menjelaskan fenomena HI melalui pendekatan saintifik, disebut juga sebagai kelompok positivis. Kedua adalah kelompok yang menolak pendekatan saintifik yang digunakan oleh kelompok pertama karena penelitian di dalam ilmu sosial cenderung bias dan tidak bebas nilai. Kelompok terakhir ini disebut sebagai kelompok post positivis.

Debat pertama terjadi dalam kurun waktu 1930-1950an, antara kelompok idealis (utopian liberalism) dengan kelompok realis. Orang-orang yang kemudian dilabeli sebagai idealis/utopis ini juga berbicara tentang upaya untuk menciptakan perdamaian dunia melalui penerapan hukum internasional maupun organisasi internasional.14 Ide-ide pemikir realis klasik seperti Thucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang berbicara tentang power dan power politics diangkat kembali oleh ilmuwan HI saat itu. E.H. Carr adalah salah seorang pemikir dari kelompok realis yang mengkritik optimisme kelompok idealis. Melalui bukunya yang berjudul The Twenty Years’ Crisis ia berargumen bahwa kondisi harmonis tidak mungkin tercapai karena negara-negara terlibat dalam konflik untuk mencapai kepentingan masing-masing. Tulisan penting lainnya adalah karya J.H. Morgenthau, seorang Jerman yang melarikan diri ke Amerika Serikat (AS) ketika Nazi berkuasa. Di dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations: The Struggle for Power, Morgenthau berpendapat bahwa hubungan internasional itu bentuknya konfliktual karena tiap-tiap negara terlibat dalam usaha untuk mencapai kekuasaan (the struggle for power). Di dalam debat pertama, kelompok realis yang memfokuskan penelitian mereka pada power politics, isu-isu keamanan, agresi, konflik dan perang, dapat dikatakan sebagai kelompok pemenang. Realisme SHI dalam perkembangannya, tidak hanya memiliki pengaruh pada dunia akademik tetapi juga pada kalangan praktisi seperti politisi dan diplomat.16
Debat kedua di dalam perkembangan SHI terjadi pada dekade 1960an. Debat terjadi antara dua kelompok yang berbeda dalam memahami SHI. Kelompok pertama adalah kelompok tradisionalis, pemikir-pemikir awal SHI yang menekankan pada upaya ‘memahami’ (understanding) HI. Sementara kelompok kedua memiliki fokus yang berbeda, yaitu tentang upaya ‘menjelaskan’ (explaining). Kelompok kedua ini disebut dengan kelompok behavioralis. Selain istilah tradisional vs. behavioralis, istilah lain yang digunakan adalah tradisionalisme vs. sains.17 Kemunculan kelompok behavioralis ini sangat signifikan terlihat pasca Perang Dunia II. Para ilmuwan yang dikategorikan sebagai behavioralis berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, seperti ilmu politik, ekonomi, bahkan matematika. Debat berakhir tanpa ada pemenang atau kejelasan tentang siapa yang kalah. Semacam kesepakatan tercapai bahwa upaya yang dilakukan baik oleh kelompok tradisionalis maupun behavioralis memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lain, dan keduanya bisa saling melengkapi.
Persoalan ekonomi politik internasional (international political economy-IPE) ini menjadi fokus debat ketiga di dalam SHI. Debat terjadi sepanjang dekade 1970-1980an antara kelompok neo-realis dan neo-liberalis dengan kelompok Marxis. Kelompok neo-Marxis menyampaikan kritik kepada kelompok neo-realis dan neo-liberalis terkait dengan ketimpangan ekonomi yang terjadi di dunia. Kelompok IPE liberal (istilah lainnya liberalisme komersial) memiliki pandangan yang kontras sekali dengan kelompok neo-Marxis. Menurut mereka, ekspansi kapitalisme global diperlukan untuk mencapai kemakmuran dan perdamaian bagi seluruh masyarakat dunia. Di dalam debat ketiga ini tampak perubahan di dalam SHI. Apabila di awal kemunculannya isu-isu yang dibahas lebih banyak berbicara tentang politik dan militer, debat ketiga terlihat bahwa isu-isu seperti ekonomi dan sosial mendapat perhatian besar. Tiga paradigma yang telah disebutkan di dalam tulisan ini; realisme, liberalism dan neo-Marxisme adalah tiga paradigma utama (mainstream) di dalam SHI. Setidaknya hingga Perang Dingin berakhir, ketiga paradigma ini mencirikan besarnya pengaruh positivisme di dalam SHI. Positivisme adalah paham yang terkait
dengan upaya membangun pengetahuan dari “eksperimen-eksperimen, observasi, dan deduksi (menggunakan metode saintifik)”.
Dominasi positivistik di dalam SHI mulai dipertanyakan oleh pendekatan-pendekatan lain (diisitilahkan dengan pendekatan post-positivis). SHI dalam hal ini,
kembali mengalami perdebatan akademik. Di dalam debat keempat ini, yang menjadi fokus perdebatan antara kelompok positivis dengan kelompok post-positivis, yang diwakili oleh teori kritis, feminisme, poststrukturalisme, postkolonialisme, konstruktivisme dan green politics, adalah hubungan antara teori dengan realita. Debat antara kelompok positivis dan kelompok post positivis juga tidak menghasilkan pemenang. Kritik kelompok post positivis terhadap kelompok positivis tetap berlangsung. Walaupun begitu paradigma-paradigma mainstream, khususnya realisme dan liberalisme masih berpengaruh besar di dalam SHI. Patut diketahui bahwa walaupun perdebatan di dalam SHI menunjukkan perkembangan epistemologis di mana dominasi paradigma mainstream dipertanyakan, realita menunjukkan bahwa paradigma utama SHI, terutama realisme dan liberalisme tetapmenjadi paradigma yang paling banyak digunakan.
3. Perkembangan Metodologi
Selain perdebatan mengenai isu-isu substantif, misalnya apa penyebab terjadinya perang atau apakah demokrasi akan mengekalkan perdamaian, perdebatan penting lainnya di dalam SHI adalah mengenai metodologi. Perdebatan metodologi biasanya membahas hal-hal filosofis tentang bagaimana penelitian baiknya dilakukan; apakah bisa menggunakan pendekatan saintifik, apakah asumsi realis bahwa sifat dasar manusia agresif atau asumsi liberalis bahwa manusia suka bekerja sama itu benar, dan lain sebagainya.31 Ketika awal berdiri sebagai sebuah kajian, orang-orang liberalisme idealis yang meneliti tentang HI kebanyakan berasal dari kalangan non akademik. Perhatian terhadap metodologi tidak terlalu banyak diperhatikan, karena fokus tulisan mereka bukan pada upaya menjelaskan, tapi lebih kepada hal-hal yang harusnya diterapkan di dunia agar terhindar dari perang. Isu mengenai metodologi baru muncul pada dekade 1950-1960an, seiring dengan berkembangnya revolusi behavioralis di kalangan ilmuwan politik di AS. Di dalam debat kedua, walaupun tidak ada kejelasan tentang siapa yang menang ataupun kalah, kelompok behavioralis (terutama dari kelompok neo-realis mendominasi SHI dan kelompok
tradisional menjadi minoritas di dalam SHI.
Pasca usainya Perang Dingin, dominasi ini kemudian mendapat tantangan dari kelompok yang tergabung dalam post positivis.33
Berikut di bawah ini adalah penjelasan lebih lanjut tentang metodologi positivis dan
metodologi post positivis.
a. Metodologi Positivis
Patut diketahui bahwa metodologi positivis di dalam HI memiliki tradisi behavioralisme yang kuat. Besarnya pengaruh behavioralisme di dalam positivisme HI bisa dilihat dari penelitian-penelitian neorealis yang menekankan pada penelitian kuantitatif dan penggunaan teori-teori permainan (game theories) di dalam analisisnya.
b. Metodologi Post Positivis
Untuk diketahui post positvisme di dalam SHI tidak bisa dilihat sebagai satu kesatuan. Ada
berbagai pendekatan post positivis yang berbeda, bahkan di dalam satu pendekatan sekalipun. Misalnya postmodernisme atau feminisme yang memiliki variasi-variasi tersendiri. Berikut di bawah ini adalah beberapa aliran post positivis di dalam SHI:
Teori Kritis (Critical Theory)
Teori Kritis yang memiliki keterhubungan dengan ajaran Marxis ini dikembangkan oleh sekelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan nama aliran Frankfurt (Frankfurt School). Dalam hal ini kelompok Teori Kritis menolak asumsi positivistik tentang “realitas eksternal yang
obyektif, pembedaan antara subyek dengan obyek dan ilmu sosial yang bebas nilai”.38 Ilmu sosial, menurut Teori Kritis tidak melakukan penelitian dengan memisahkan antara si peneliti dengan obyek yang diteliti, karena si peneliti adalah bagian dari obyek kajiannya. Kelemahan metodologi Teori Kritis terletak pada masalah kemandirian akademik.
Kalaulah pendapat Robert Cox tentang ‘teori adalah milik seseorang dan memiliki tujuantujuan
tertentu’ adalah benar, maka kebenaran teori akan ditentukan oleh kekuatan politik. Padahal seharusnya pengetahuan dan seorang ilmuwan harus bisa mandiri tanpa pengaruh dari manapun.

Postmodernisme
Postmodernisme adalah teori sosial yang bukan muncul belakangan di dalam SHI. Awal kemunculan postmodernisme sendiri diinisiasi oleh sekelompok filsuf Perancis yang menolak filsafat eksistensialisme yang saat itu mendominasi. Sama seperti kelompok teori kritis yang berbicara tentang ‘penjara konseptual’ (conceptual prisons), kelompok postmodernis kebenaran obyektif yang diangkat oleh eksistensialis. Postmodernisme masuk ke dalam SHI pada dekade 1980an dengan Richard Ashley sebagai salah seorang promotornya. Kritikan postmodernis lebih banyak ditujukan kepada kelompok neo-realis yang mempercayai bahwa mereka telah menemukan kebenaran empiris dalam HI. Menurut postmodernis, anggapan bahwa kondisi sistem internasional yang anarkis adalah sesuatu kebenaran seakan-akan menunjukkan negara-negara tidak memiliki pilihan selain beradaptasi dengan kondisi anarkis tersebut.

Konstruktivisme
Kelompok konstruktivis melihat bahwa obyektivitas di dalam ilmu sosial adalah bentukan manusia (human construction) dan atas kesadaran manusia itu sendiri (human consciousness). Kelompok ini melihat bagaimana hubungan antara materi dan ide berpengaruh terhadap bagaimana aktor menginterpretasikan realita. Fokus perhatian kelompok konstruktivis adalah penjelasan saintifik yang diklaim oleh kelompok behavioralis. Konstruktivisme melihat bahwa penelitian tentang dunia sosial memiliki sifat intersubyektif, artinya penelitian tersebut hanya akan berguna bagi orang-orang yang membuatnya dan yang memahaminya.

D. Di Mana Posisi SHI Sekarang?
Pembahasan sebelumnya telah memperlihatkan perkembangan keilmuan HI, baik dari segi epistemologi, ontologi dan metodologi. Tentunya akan timbul pertanyaan-pertanyaan terkait dengan dampak perkembangan keilmuan HI. Sejak SHI yang berdiri pada tahun 1919, SHI menjadi sebuah disiplin ilmu yang kaya akan teori, dimulai dari teori-teori yang dianggap sangat berpengaruh, seperti liberal internasionalisme dan neo realisme, Marxisme yang mulai kurang pengaruhnya, dan kumpulan teori-teori yang tergabung dalam post-positivisme seperti feminisme dan green politics. Kekayaan dan keberagaman yang dimiliki menunjukkan bahwa SHI tidak lagi terkungkung pada masalah yang menjadi perhatian Wight pada dekade 1960an tentang “kemampuan negara untuk bertahan hidup. dan ketiadaan kosa kata yang tepat dalam membuat teori tentang politik global”44.
 Upaya untuk mengimbangi dominasi Barat di dalam SHI mulai terlihat ketika pasca Perang Dingin komunitas HI melihat ketidakrelevanan teori-teori HI dalam menerangkan fenomena-fenomena HI di kawasan non Barat. Patut untuk diperhatikan bahwa potensi untuk membuat teori HI non Barat itu ada, namun mengalami beberapa hambatan, antara lain karena beberapa hal: Pertama, terkait dengan kesenjangan antara kajian-kajian yang sifatnya kewilayahan yang disebut subsistemik dengan kajian-kajian yang sifatnya sistemik. Kedua, ketertinggalan THI di dunia non Barat terkait dengan perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan teori hubungan internasional. Ketiga, ketertinggalan THI non Barat terkait dengan masih besarnya pengaruh Barat di beberapa tempat. Pengaruh ini bisa dilihat dari besarnya jumlah literatur Barat yang dijadikan buku teks HI, sementara buku-buku teks buatan lokal sangat terbatas jumlahnya. Keempat, kondisi ketertinggalan THI non Barat juga ditentukan oleh infrastruktur pendidikan yang ada.

Simpulan
Tulisan ini telah memberikan gambaran tentang perjalanan SHI sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki kekhususan tersendiri. Dari pembentukannya sebagai sebuah kajian yang terpisah dari ilmu politik pada tahun 1919, SHI telah banyak mengalami perubahan-perubahan secara keilmuan (epistemologi, ontologi maupun metodologi). Perbedaan-perbedaan cara pandang menunjukkan SHI bukan sebuah disiplin ilmu biasa. Di dalam tulisan ini juga ditunjukkan bahwa SHI memiliki kelemahan, di mana kajian ini sangat didominasi oleh akademisi dari AS dan dari Eropa. Ketidakcocokan teoriteori Barat dalam menjelaskan fenomena-fenomena HI di kawasan non Barat memunculkan upaya-upaya untuk membuat teori HI non Barat. Namun upaya ini belum menghasilkan sesuatu yang berarti, mengingat masih besarnya dominasi teori-teori Barat di dalam SHI walaupun potensi untuk memunculkan teori HI non Barat itu ada.

Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente

Konflik Poso