Allah
S.W.T sangat pedih siksaNya bagi mereka yang menyalahi aturan. Namun begitu
besar karunia dan nikmatNya bagi siapa pun hambaNya yang taat (Harun, 1985 :
11). Dua tempat yang salah satunya manusia akan hidup kembali di sana, Surga
dan Neraka. Meski tujuan utama manusia menghuni bumi Allah ini untuk beribadah
semata, tetapi orientasinya tidak akan terlepas dari menginginkan taman surga
dan takut akan hukuman neraka. Maka hasil akhir dari perjalanan hidupnya
adalah berada di antara beruntung dan
merugi. Beruntung di sini, berarti sukses menggapai anugerah surganya Allah.
Sang Pencipta mempunyai karakter tertentu bagi hambaNya agar bisa meraih
kebahagiaan abadi di Akhirat kelak. kriteria-kriteria itu banyak dijelaskan dalam
Al-Quran dan Al-Hadist (Ibid : 12). “ Dia (Allah) berkata : Azabku akan aku
timpakan kepada siapa saja yang aku kehendaki, sedang rahmatKu meliputi segala
sesuatu. Maka Aku akan tetapkan rahmatKu itu bagi orang-orang yang bertaqwa,
yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami “
(Al-Araf : 156). Di dalam ayat tersebut dijelaskn rahmat Allah yakni berupa
nikmat-nikmatNya baik di dunia maupun di akhirat, akan Ia berikan kepada
hambaNya yang bertaqwa, berbuat baik terhadap sesame dengan menunaikan zakat
dengan didasari rasa yakin akan ayat-ayatNya (Ibid). Namun ada sebuah Hadist
yang menyita perhatian, di sana disebutkan bahwa perbuatan semata tidak cukup
mengantarkan manusia ke akhirat dengan berbahagia. Hadist tersebut berbunyi, “
Seseorang tidak akan masuk ke dalam surga dengan sebab amalnya semata. Tidak
pula engkau wahai rasulullah?. Tidak pula aku, kecuali bila Allah menganugerahi
aku dengan rahmatNya”. maka jika teliti kedua rujukan pokok tadi, maka akan
tampak jelas bahwa sesuatu yang dimaksud kunci sampai ke surga tempat bersuka
cita itu adalah rahmat Allah yang diperoleh dengan sebab maghfiroh
(ampunan) sebagi ganjaran atas amal baik (solih) manusia di dunia (Ibid
: 10).
Jelas sekali rentetan hal-hal yang
menyebabkan manusia selamat di kehidupan selanjutnya. Tapi Tuhan tidak hanya
menyediakan fasilitasNya nanti di akhirat, bagi siapa saja yang mau, Tuhan akan
memberikan kesenangan-kesenangan di dunia. Maka manusia berhasil selama
perkelanaanya di bumi, pun cemerlang di akhirat sebagai kehidupan yang sesungguhnya.
Dunia identik dengan materi. Harta benda yang membuat manusia tenang
menjalankan tugas ibadahnya adalah baik. Memang ekonomi selalu menjadi penentu
gerak langkah manusia dan semua problematika kehidupannya. Di dalam sebuah
keluarga, negara, pemerintahan, pasti saja ekonomi yang menjadi pengaruh paling
besar. Tetapi sebelum kita mengurusi bagian-bagian tersebut yang berupa
kelompok, maka untuk mendapat kegemilangan ekonomi, kemampuan setiap individu
mengelola potensi hartanya adalah hal yang harus diutamakan, karena dari sana
lah penentu kedepan an keseluruhannya. FSQ (Financial Spiritual Quotient)
adalah konsep bagaimana seseorang bisa mengelola ekonominya dengan baik. Di
mana dengan pengelolaan keuangan itu, kita bisa secara efektif menggunakan apa
yang kita miliki (Supriyono, 2009 : 53). Tak hanya itu, kita akan mengetahui
bagaimana perbedaan menabung dengan investasi yang keduanya sangat penting. FSQ
tidak sekedar memberikan kita haluan tentang semua itu, namun juga
penyajiaannya secara numeric agar kita terbiasa dengan angka-angk sebagai
perhitungan dari setiap keputusan yang kita ambil dalam menggunakan uang kita
(Ibid : 3). Dana yang dikeluarkan menjadi pas dan tepat sasaran, jauh dari apa
yang dinamakan mubadzir. Tabungan akan senantiasa menyangga ekonomi kita
di saat yang tidak terduga (Ibid : 25). Investasi banyak nilai kebaikannya
membantu ekonomi orang banyak, di samping investasi juga kegiatan penggenjot
pesatnya ekonomi pemiliknya tanpa susah payah. Sehingga visi paripurna dua kehidupan
yakni dunia dan akhirat sukses (Ibid : 206).
Banyak perbedaan keyakinan mengenai
kuasa Tuhan terhadap nasib manusia (Mustopa, 2010 : 91). Sedikitnya ada enam
kelompok di dalam agama islam yang berbeda pandangan akan hal ini. Kelompok Mu’tazilah
misalnya, berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai pengaruh terhadap setiap
gerak-gerik manusia (Ibid).Jadi apa-apa yang dilakukan manusia adalah kekuatan
dari dirinya sendiri. Allah hanya menciptakan qudrat atau kuasa terhadap
manusia di awal, dan selanjutya manusia sendiri yang menentukan. Beda lagi
dengan aliran Murji’ah, yang menyatakan kuasa Allah 100% menentukan langkah
manusia. Maksiat atau berdosanya manusia itu adalah kehendak Allah. Sehingga
manusia tidak punya peran usaha dalam menentukan hidupnya. Kelompok ini
cenderung statis dan pasrah dengan keadaan. Kita kebanyakan orang Indonesia
menganut faham Ahlu as-sunnah waljamaah, yang dalam hal ini berada di
tengah-tengah dua kelompok tadi. Yaitu Allah mempunyai hak kuasa terhadap nasib
hambaNya tapi memberikan Ikhtiar atau potensi berusaha untuk bisa
merubah nasibnya (Ibid : 89). Maka logis sekali bagi kita penganut keyakinan
ini untuk selalu berusaha menjadi lebih baik dan tidak berhenti meminta kepada
Allah agar menghendakinya. Sukses dunia dan akhirat.
Daftar
Pustaka
Al-Rasyid,
Haji Harun, Syarah Hikam, Bandung: Risalah Bandung, 1985
Supriyono,
Iman, Financial Spiritual Quotient, Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2010
Mustopa, Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon:
Nurjati IAIN-Publisher, 2010
Komentar
Posting Komentar