Newest

Transnational Advocacy Network

Transnasionalisme menghadirkan ide baru mengenai berkurangnya peran dari aktor negara. Dalam keadaan ini, transnasionalisme menjadikan hubungan antar negara menjadi lebih cair. Sistem yang mengalami pergeseran ini kemudian memunculkan aktor-aktor non-negara dengan pengaruh yang signifikan. Dalam transnasionalisme, peluang aktor non-negara bisa mempengaruhi kebijakan aktor negara. Bahasan mengenai transnasionalisme atau gerakan transnasional juga tidak sebatas tentang bagaimana sebuah organisasi bergerak. Tetapi juga tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berinteraksi di dunia internasional memberikan pengaruhnya. Dalam bahasan ini Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink (1998) mengedepankan sebuah konsep yang dinamakan Transnational Advocacy Networks dimana dijelaskan jenis, pengaruh dan advokasi jaringan transnasional. Jaringan advokasi bagi Margaret dan Kathryn merupakan kata kunci penting di dalam memahami jejaring global. Yang kemudian jaringan advokasi dibagi menjadi cakup

New World Order



Tatanan dunia baru adalah istilah yang dipakai untuk menyebut periode sejarah modern manapun yang mengalami perubahan pemikiran politik dunia dan keseimbangan kekuasaan yang besar. Meski istilah ini memiliki banyak makna, istilah ini sering dikaitkan dengan arti ideologis pemerintahan global dalam upaya bersama untuk mengenali, memahami, dan menyelesaikan permasalahan dunia yang berada di luar kemampuan negara bangsa. Presiden Mikhail Gorbachev dan George H. W. Bush menggunakan istilah ini untuk mendefinisikan sifat zaman pasca-Perang Dingin dan semangat kerja sama kekuasaan besar yang diharapkan bisa terwujud.
Kedua pemimpin negara besar Gorbachev dan Bush berada di masa transisi perhelatan panjang perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet menuju wajah dunia yang baru (new world order). Yang kemudian mengantarkan Amerika ke posisi adidaya tunggal di muka bumi ini (unipolar). Meski secara teknis, sampai saat ini  perang dingin antara negeri Paman Sam dan negeri Beruang Merah ini belum benar-benar usai.
Setelah istilah New World Order menjadi tema dunia pasca perang dingin, di tahun 2014 frasa “gangguan dunia baru” (new world disorder) mulai menyebar di kalangan pers atas ketegangan antara Rusia pimpinan Vladimir Putin dan Amerika Serikat pimpinan Barrack Obama terkait intervensi militer Rusia di Ukraina. Fenomena lain yang juga turut mewarnai gangguan dunia baru ini adalah deklarasi Negara Islam Irak Syam dan juga konflik serius di Gaza Palestina.
Tahapan Penting Dunia
Jauh hari sebelum babak baru dimulai, kemenangan Amerika Serikat, alur sejarah yang sangat penting menyertai lahirnya tatanan dunia baru. Meninggalnya pemimpin besar Joseph Stalin yang menyebabkan Soviet mengalami guncangan politis. Kematian sosok  besar ini menghadapkan para penggantinya pada kebingungan. Meski bagaimana, Stalin telah berhasil membawa  membawa Uni Sovyet ke tangga politik tertinggi  dalam kurun waktu hampir 30 tahun (bersaing dengan Amerika Serikat). Posisi Stalin digantikan oleh Nikita Khrushchev, seorang yang nantinya mengumandangkan kampanye anti-Stalin. Amerika Serikat juga baru saja mendapat pemimpin baru, Dwight Eisenhower yang sebelumnya merupakan Panglima Sekutu di front Eropa kini adalah Presiden yang menggunakan pendekatan konservatisme dinamis atau republikanisme modern dalam menjalankan pola pemerintahannya.
Naiknya Nikita Khrushchev dalam panggung politik Uni Sovyet telah membuka “keran kebebasan” (meski tetap ada kontrol pemerintah) yang dahulu amat tidak disukai oleh rezim Joseph Stalin. Dalam pandangan Richard Pipes, Baird Profesor Sejarah, Emiritus, di Universitas Harvard, bahwa Khrushchev mengundurkan cengkeraman rezim diktator yang mati itu tanpa mengubah institusi-institusi ataupun hukum-hukum dasarnya : aturan satu partai tetap hidup, begitu pula dengan polisi rahasia dan penyensoran yang ada dimana-mana. Walaupun demikian, kehidupan warga Uni Soviet jauh lebih mudah. Jutaan penghuni kamp konsentrasi memperoleh kembali kebebasan mereka. Banyak korban penindasan mendapatkan rehabilitasi yang meski tidak memberi mereka keuntungan toh tetap melegakan keluarga mereka. Hubungan yang sifatnya terbatas dengan warga negara asing diperbolehkan lagi. Lebih banyak orang dari luar negeri memperoleh visa masuk, dan juga lebih banyak orang Soviet yang dapat bepergian ke luar Uni Soviet. Membanjirnya siaran-siaran bergelombang pendek dari luar negeri berlanjut seperti dahulu, meskipun hal itu tidak mudah, sehingga masyarakat Soviet dapat memperoleh gambaran yang lebih realistis tentang kehidupan di luar maupun di dalam negeri”.
Dwight Eisenhower tetap mengambil langkah hati-hati meski pihak Uni Sovyet telah meninggalkan cara lama mereka dalam menjalankan politik luar negerinya. Hal ini terbukti benar, ketika Tentara Merah melakukan tindakan intervensi dengan melibas pembrontakan kaum demokratis yang pecah di zona politik luar negeri Uni Sovyet, seperti di Hongaria pada tahun 1956. Amerika Serikat hanya berdiam diri atas aksi brutal yang dilakukan militer Uni Sovyet terhadap para aktivis yang anti pada politik totaliter Moscow. Dwight Eisenhower terlihat sangat waspada dalam menggunakan kekuatan militernya, ia tak ingin “menusuk” Uni Sovyet terlebih dahulu sebelum negeri “Beruang Merah” memulai invasi sepihak (langsung) kepada Gedung Putih.
Persaingan ketat melawan Uni Sovyet selanjutnya juga berdampak kepada kehidupan dalam negeri (sosial) Amerika Serikat. Muncul sebagian kelompok masyarakat yang tidak simpati dengan rivalitas antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Perang nuklir menjadi ketakutan bersama, fenomena baby boom mungkin tinggal sekedar kenangan belaka bila hal tersebut benar-benar terjadi. Benih generasi New Left mulai lahir dipertengahan tahun 1950-an dan nantinya akan meledak di era 1960-an. Generasi New Left dilahirkan dalam kehidupan sejahtera pasca krisis. Bagi generasi baru ini, kapitalisme dan modernitas dianggap telah melahirkan distorsi-distorsi kemanusiaan dan penindasan. Kapitalisme sebagai sistem ekonomi negara dinilai generasi New Left akan membuat manusia bagaikan ‘mesin pencetak uang’, serta kehilangan hati nurani, dan berujung pada rusaknya keharmonisan hubungan sosial masyarakat.
Ketegangan Uni Sovyet dan Amerika Serikat sempat mencair saat Nikita Khrushchev melaksanakan kunjungan diplomatis ke negeri Uncle Sam pada tahun 1959. Kunjungan diplomatis ini sangatlah bersejarah, karena Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Uni Sovyet pertama yang datang ke Amerika Serikat. Selama beberapa hari kunjungannya di Amerika Serikat, Nikita Khrushchev begitu terpesona dengan kemakmuran yang terjadi di negara rivalnya. Tak jarang Nikita Khrushchev mengkritik Dwight Eisenhower atas realitas kemakmuran negeri yang ia pimpin, pemimpin Uni Sovyet ini menganggap bahwa rakyat Amerika Serikat begitu bodoh akibat membiarkan begitu banyak mobil mengisi jalan raya dengan hanya satu penumpang di dalamnya. Kunjungan diplomatis Nikita Khrushchev diakhiri dengan percakapan pribadinya bersama Dwight Eisenhower. Ketegangan yang sudah cair ini kemudian meledak ketika pesawat mata-mata U-2 Amerika Serikat tertembak jatuh di Uni Sovyet tanggal 1 Mei 1960, dan konflik global segera berlanjut kembali.

Wajah Baru Asia Tenggara
Tatanan dunia baru juga bisa berarti terlahirnya sebuah keadaan baru yang didahului peristiwa cukup besar. Berakhirnya Perang Dunia II telah membawa pengaruh besar terhadap peta politik internasional. Inggris dan Perancis menjadi korban utama dari perang yang amat menghancurkan, selain negerinya hancur akibat invasi Jerman NAZI, dua negara tersebut juga banyak kehilangan wilayah jajahannya. Inggris secara politis memberikan sebuah kesepakatan kepada semua wilayah jajahannya untuk berdiri disatu induk bernama Persemakmuran. Pemerintah Inggris sudah memprediksi bahwa mereka tak mungkin lagi mempertahankan posisinya di wilayah jajahan, dinilai dari sudut politik luar negeri tindakan kolonial dianggap sudah tidak relevan lagi dalam dunia yang semakin mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Permulaan tahun 1950-an, Inggris mulai mengkordinasi perencanaan daerah Malaya yang sekarang disebut Malaysia dan Singapura. Inggris selalu berkeyakinan bahwa negara jajahannya perlu dibina dan diedukasi terlebih dahulu sebelum mereka diberikan kemerdekaan.
Sedangkan posisi Perancis di wilayah Indocina semakin tidak menguntungkan, mereka mulai mendapat serangan total dari penduduk lokal yang telah lama terjajah. Sejak bulan Desember 1946, Perancis menjalankan peperangan tanpa jalan keluar yang jelas di Indocina melawan pemerintahan Vietminh yang berhaluan komunis. Proses dokolonisasi berjalan lambat karena Perancis terus digempur oleh perlawanan yang luar biasa, terutama di Vietnam. Walau Perancis memiliki banyak keunggulan saat perang berlangsung, namun strategi brilian dari Jenderal Vo Nguyen Giap pemimpin militer Vietnam berhasil menggagalkan semua itu. Puncaknya adalah ketika 37.000 anggota pasukan Vietnam mengepung Perancis di Dien Bien Phu. Akhirnya Vietnam berhasil meruntuhkan kubu pertahanan Perancis dan berhasil menewaskan 12.000 tentara. Perancis setuju untuk melakukan gencatan senjata pada tanggal 21 Juli 1954. Momen itu menjadi akhir petualangan kolonial Perancis di wilayah Asia Tenggara.
Di wilayah Asia Tenggara yang lain, Indonesia berhasil meraih simpati dunia internasional setelah mengalami kekejaman kolonialisme yang sangat brutal. Negara yang sudah mendeklarasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 ini mendapat sorotan publik luar negeri saat Belanda kembali datang untuk merebut kekuasaannya yang pernah direbut pemerintah fasis Jepang. Belanda menganggap pemerintah Soekarno adalah rezim boneka buatan Jepang yang wajib dibekukan keberadaannya. Belanda melaksanakan agresi militer dalam usahanya meruntuhkan posisi pertahanan (stabilitas) Indonesia. Aksi sepihak Belanda justru mendapat masyarakat internasional, kasus ini dibawa ke forum internasional. Akibat semakin terpojok, pemerintah Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.

Daftar Pustaka
Michael H. Heart, 100 “Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa”, Karisma Publishing Group, Tangerang, 2005.
Rudi Hermanto, “Perang Dingin”, kompasiana.com, 30 Desember 2015


Komentar

Most Read

Tokoh Hak Asasi Manusia di Indonesia

The Detente

Konflik Poso