Tatanan dunia baru adalah istilah yang dipakai untuk menyebut
periode sejarah modern manapun yang mengalami perubahan pemikiran politik dunia
dan keseimbangan kekuasaan yang besar. Meski istilah ini memiliki banyak makna,
istilah ini sering dikaitkan dengan arti ideologis pemerintahan global dalam
upaya bersama untuk mengenali, memahami, dan menyelesaikan permasalahan dunia
yang berada di luar kemampuan negara bangsa. Presiden Mikhail Gorbachev dan
George H. W. Bush menggunakan istilah ini untuk mendefinisikan sifat zaman
pasca-Perang Dingin dan semangat kerja sama kekuasaan besar yang diharapkan
bisa terwujud.
Kedua pemimpin negara besar Gorbachev dan Bush berada di masa
transisi perhelatan panjang perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet menuju
wajah dunia yang baru (new world order). Yang kemudian mengantarkan Amerika ke
posisi adidaya tunggal di muka bumi ini (unipolar). Meski secara teknis, sampai
saat ini perang dingin antara negeri
Paman Sam dan negeri Beruang Merah ini belum benar-benar usai.
Setelah istilah New World Order menjadi tema dunia pasca perang
dingin, di tahun 2014 frasa “gangguan dunia baru” (new world disorder) mulai
menyebar di kalangan pers atas ketegangan antara Rusia pimpinan Vladimir Putin
dan Amerika Serikat pimpinan Barrack Obama terkait intervensi militer Rusia di
Ukraina. Fenomena lain yang juga turut mewarnai gangguan dunia baru ini adalah
deklarasi Negara Islam Irak Syam dan juga konflik serius di Gaza Palestina.
Tahapan Penting Dunia
Jauh hari sebelum babak baru dimulai, kemenangan Amerika Serikat,
alur sejarah yang sangat penting menyertai lahirnya tatanan dunia baru. Meninggalnya
pemimpin besar Joseph Stalin yang menyebabkan Soviet mengalami guncangan
politis. Kematian sosok besar ini
menghadapkan para penggantinya pada kebingungan. Meski bagaimana, Stalin telah
berhasil membawa membawa Uni Sovyet ke
tangga politik tertinggi dalam kurun
waktu hampir 30 tahun (bersaing dengan Amerika Serikat). Posisi Stalin
digantikan oleh Nikita Khrushchev, seorang yang nantinya mengumandangkan
kampanye anti-Stalin. Amerika Serikat juga baru saja mendapat pemimpin baru,
Dwight Eisenhower yang sebelumnya merupakan Panglima Sekutu di front Eropa kini
adalah Presiden yang menggunakan pendekatan konservatisme dinamis atau
republikanisme modern dalam menjalankan pola pemerintahannya.
Naiknya Nikita Khrushchev dalam panggung politik Uni Sovyet telah
membuka “keran kebebasan” (meski tetap ada kontrol pemerintah) yang dahulu amat
tidak disukai oleh rezim Joseph Stalin. Dalam pandangan Richard Pipes, Baird
Profesor Sejarah, Emiritus, di Universitas Harvard, bahwa Khrushchev
mengundurkan cengkeraman rezim diktator yang mati itu tanpa mengubah
institusi-institusi ataupun hukum-hukum dasarnya : aturan satu partai tetap
hidup, begitu pula dengan polisi rahasia dan penyensoran yang ada dimana-mana.
Walaupun demikian, kehidupan warga Uni Soviet jauh lebih mudah. Jutaan penghuni
kamp konsentrasi memperoleh kembali kebebasan mereka. Banyak korban penindasan
mendapatkan rehabilitasi yang meski tidak memberi mereka keuntungan toh tetap
melegakan keluarga mereka. Hubungan yang sifatnya terbatas dengan warga negara
asing diperbolehkan lagi. Lebih banyak orang dari luar negeri memperoleh visa
masuk, dan juga lebih banyak orang Soviet yang dapat bepergian ke luar Uni
Soviet. Membanjirnya siaran-siaran bergelombang pendek dari luar negeri
berlanjut seperti dahulu, meskipun hal itu tidak mudah, sehingga masyarakat
Soviet dapat memperoleh gambaran yang lebih realistis tentang kehidupan di luar
maupun di dalam negeri”.
Dwight Eisenhower tetap mengambil langkah hati-hati meski pihak Uni
Sovyet telah meninggalkan cara lama mereka dalam menjalankan politik luar
negerinya. Hal ini terbukti benar, ketika Tentara Merah melakukan tindakan
intervensi dengan melibas pembrontakan kaum demokratis yang pecah di zona
politik luar negeri Uni Sovyet, seperti di Hongaria pada tahun 1956. Amerika
Serikat hanya berdiam diri atas aksi brutal yang dilakukan militer Uni Sovyet
terhadap para aktivis yang anti pada politik totaliter Moscow. Dwight
Eisenhower terlihat sangat waspada dalam menggunakan kekuatan militernya, ia
tak ingin “menusuk” Uni Sovyet terlebih dahulu sebelum negeri “Beruang Merah”
memulai invasi sepihak (langsung) kepada Gedung Putih.
Persaingan ketat melawan Uni Sovyet selanjutnya juga berdampak
kepada kehidupan dalam negeri (sosial) Amerika Serikat. Muncul sebagian
kelompok masyarakat yang tidak simpati dengan rivalitas antara Amerika Serikat
dan Uni Sovyet. Perang nuklir menjadi ketakutan bersama, fenomena baby boom
mungkin tinggal sekedar kenangan belaka bila hal tersebut benar-benar terjadi.
Benih generasi New Left mulai lahir dipertengahan tahun 1950-an dan nantinya
akan meledak di era 1960-an. Generasi New Left dilahirkan dalam kehidupan
sejahtera pasca krisis. Bagi generasi baru ini, kapitalisme dan modernitas
dianggap telah melahirkan distorsi-distorsi kemanusiaan dan penindasan.
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi negara dinilai generasi New Left akan
membuat manusia bagaikan ‘mesin pencetak uang’, serta kehilangan hati nurani,
dan berujung pada rusaknya keharmonisan hubungan sosial masyarakat.
Ketegangan Uni Sovyet dan Amerika Serikat sempat mencair saat
Nikita Khrushchev melaksanakan kunjungan diplomatis ke negeri Uncle Sam pada
tahun 1959. Kunjungan diplomatis ini sangatlah bersejarah, karena Nikita
Khrushchev menjadi pemimpin Uni Sovyet pertama yang datang ke Amerika Serikat.
Selama beberapa hari kunjungannya di Amerika Serikat, Nikita Khrushchev begitu
terpesona dengan kemakmuran yang terjadi di negara rivalnya. Tak jarang Nikita
Khrushchev mengkritik Dwight Eisenhower atas realitas kemakmuran negeri yang ia
pimpin, pemimpin Uni Sovyet ini menganggap bahwa rakyat Amerika Serikat begitu bodoh
akibat membiarkan begitu banyak mobil mengisi jalan raya dengan hanya satu
penumpang di dalamnya. Kunjungan diplomatis Nikita Khrushchev diakhiri dengan
percakapan pribadinya bersama Dwight Eisenhower. Ketegangan yang sudah cair ini
kemudian meledak ketika pesawat mata-mata U-2 Amerika Serikat tertembak jatuh
di Uni Sovyet tanggal 1 Mei 1960, dan konflik global segera berlanjut kembali.
Wajah Baru Asia Tenggara
Tatanan dunia baru juga bisa berarti terlahirnya sebuah keadaan
baru yang didahului peristiwa cukup besar. Berakhirnya Perang Dunia II telah
membawa pengaruh besar terhadap peta politik internasional. Inggris dan
Perancis menjadi korban utama dari perang yang amat menghancurkan, selain
negerinya hancur akibat invasi Jerman NAZI, dua negara tersebut juga banyak
kehilangan wilayah jajahannya. Inggris secara politis memberikan sebuah
kesepakatan kepada semua wilayah jajahannya untuk berdiri disatu induk bernama
Persemakmuran. Pemerintah Inggris sudah memprediksi bahwa mereka tak mungkin
lagi mempertahankan posisinya di wilayah jajahan, dinilai dari sudut politik
luar negeri tindakan kolonial dianggap sudah tidak relevan lagi dalam dunia
yang semakin mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Permulaan
tahun 1950-an, Inggris mulai mengkordinasi perencanaan daerah Malaya yang
sekarang disebut Malaysia dan Singapura. Inggris selalu berkeyakinan bahwa
negara jajahannya perlu dibina dan diedukasi terlebih dahulu sebelum mereka
diberikan kemerdekaan.
Sedangkan posisi Perancis di wilayah Indocina semakin tidak
menguntungkan, mereka mulai mendapat serangan total dari penduduk lokal yang
telah lama terjajah. Sejak bulan Desember 1946, Perancis menjalankan peperangan
tanpa jalan keluar yang jelas di Indocina melawan pemerintahan Vietminh yang
berhaluan komunis. Proses dokolonisasi berjalan lambat karena Perancis terus
digempur oleh perlawanan yang luar biasa, terutama di Vietnam. Walau Perancis
memiliki banyak keunggulan saat perang berlangsung, namun strategi brilian dari
Jenderal Vo Nguyen Giap pemimpin militer Vietnam berhasil menggagalkan semua
itu. Puncaknya adalah ketika 37.000 anggota pasukan Vietnam mengepung Perancis
di Dien Bien Phu. Akhirnya Vietnam berhasil meruntuhkan kubu pertahanan
Perancis dan berhasil menewaskan 12.000 tentara. Perancis setuju untuk
melakukan gencatan senjata pada tanggal 21 Juli 1954. Momen itu menjadi akhir
petualangan kolonial Perancis di wilayah Asia Tenggara.
Di wilayah Asia Tenggara yang lain, Indonesia berhasil meraih
simpati dunia internasional setelah mengalami kekejaman kolonialisme yang
sangat brutal. Negara yang sudah mendeklarasikan kemerdekaannya tanggal 17
Agustus 1945 ini mendapat sorotan publik luar negeri saat Belanda kembali
datang untuk merebut kekuasaannya yang pernah direbut pemerintah fasis Jepang.
Belanda menganggap pemerintah Soekarno adalah rezim boneka buatan Jepang yang
wajib dibekukan keberadaannya. Belanda melaksanakan agresi militer dalam
usahanya meruntuhkan posisi pertahanan (stabilitas) Indonesia. Aksi sepihak
Belanda justru mendapat masyarakat internasional, kasus ini dibawa ke forum
internasional. Akibat semakin terpojok, pemerintah Belanda akhirnya mengakui
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.
Daftar Pustaka
Michael H. Heart, 100 “Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa”,
Karisma Publishing Group, Tangerang, 2005.
Rudi Hermanto, “Perang Dingin”, kompasiana.com, 30 Desember
2015
Komentar
Posting Komentar